27 Mei 2009
Anda Membaca Sastra?
Ragam bahasa ilmiah lebih banyak memperlihatkan unsur denotasi-nya. Maksud denotasi ialah unsur ragam bahasa yang memperlihatkan makna lugas dan objektif. Setiap kata langsung menyatakan hal, benda, atau situasi yang mengacu kepada makna harfiah dan terbatas. Contohnya kata kursi yang maknanya tempat duduk berkaki dan bersandaran, ini disebut makna denotatif. Tetapi kalau kata kursi itu dikaitkan dengan kedudukan atau kekuasaan, kita memperoleh makan konotatif. Di situ makna itu timbul berupa gagasan.
Contoh lain ialah kata putih yang berarti jernih dan benar, kelabu yang berarti menyedihkan atau mengecewakan (tragedi), hitam yang berarti kemelut atau kacau, dan merah yang berarti keberanian. Ungkapan ‘merah darahku, putih tulangku’ menunjukkan keberanian berdasarkan kebenaran.
Ragam bahasa ilmiah meniadakan sedapat mungkin pemakaian kata atau kalimat yang bernilai konotatif. Tidak boleh diartikan kata gelombang dengan makna perjuangan seperti dalam ungkapan gelombang penghidupan. Itu makna konotatif. Makna denotatifnya ialah ombak panjang yang bergulung-gulung di laut atau juga aliran getaran suara yang bergerak dalam radio. Contoh, “Radio amatir itu menyiarkan berita melalui gelombang 58”. Kalimat itu mempunyai makna denotatif.
Penggunaan unsur denotasi dan konotasi hendaklah tepat sesuai dengan tuntutan ragam bahasa. Jangan sampai dipakai berbalik.
Perhatikanlah kalimat di bawah ini: “Di bawah kelabu langit Desember kendaraan beringsut ke depan penuh keletihan setelah sekian lama layu dalam penantian terbukanya kemacetan”.
Kalimat di atas menunjukkan kendaraan bergerak ke depan dengan berangsur-angsur setelah tertahan menunggu kemacetan beberapa lama.
Di sini kata yang seharusnya mempunyai nilai denotatif diganti dengan kata yang bernilai konotatif. Kata beringsut seharusnya berangsur-angsur, kata layu dalam penantian seharusnya tertahan dalam menunggu kemacetan selesai.
Pilihan kata beringsut, keletihan, dan layu adalah pilihan kata dalam sastra yang maksudnya untuk lebih memberikan kesan yang mendalam.
Jadi di samping unsur konotasi, unsur diksi pun amat diperlukan bila kita menciptakan sebuah karya sastra dengan selalu memakai kata-kata secara tepat.
Dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud diksi atau pilihan kata ialah usaha kita untuk mengungkapkan gagasan, baik dalam tuturan atau tulisan yang dapat membantu menciptakan gaya dan nada sebagai karya sastra yang baik.
(Lukman Ali, dosen Fakultas Sastra UI, mantan kepala Pusat Bahasa)
Intisari, Agustus 2000, No.445, Th.XXXVII, Hal.158-159
Kata Asing Serapan
Dewasa ini, sudah selayaknya Anda memiliki kamus bahasa asing maupun kamus bahasa Indonesia yang baik untuk melengkapi diri dalam memenuhi kebutuhan Anda. Untuk itu, tersedia dewasa ini dua kamus besar bahasa Indonesia yang baik yaitu pertama, Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka susunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan kedua, Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Pustaka Sinar Harapan susunan Badudu-Zain.
Kali ini kita akan berbicara tentang tiga buah kata asing serapan yaitu kata konspirasi, klarifikasi, dan primordial. Ketiga patah kata itu sering muncul dalam tuturan atau tulisan terutama menyangkut hal-hal yang sifatnya politis atau masalah lain yang timbul dalam masyarakat. Mari kita bicarakan ketiga kata itu satu per satu serta contoh pemakaiannya dalam kalimat.
Kata konspirasi ada dalam bahasa Inggris conspiracy, ada dalam bahasa Prancis conspiration, tetapi sesungguhnya kata itu berasal dari bahasa Latin conspiratio. Kata ini tergolong pada kata benda (nomina) yang berarti ‘komplotan’ atau ‘persekutuan rahasia’. Mari kita lihat contoh pemakaiannya.
Bahasa Inggris: The Government discovers the conspiracy in time. “Pemerintah menemukan komplotan itu tepat pada waktunya.”
Bahasa Indonesia: Penggerebekan perusahaan yang diduga mengoplos BBM di Makassar berbuntut kecurigaan. Ada konspirasi untuk menutupi kasusnya. (Forum, IX/3, 23-4-2000).
Mahathir dipanggil untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang disebut sebagai konspirasi politik untuk menjatuhkanAnwar Ibrahim. (Suara Pembaruan, 17-4-2000)
Kata klarifikasi ada dalam bahasa Inggris dan Prancis, namun rasanya kata ini berasal dari bahasa Latin clare, yang berarti ‘jelas atau terang terlihat oleh mata atau terdengar oleh telinga’. Dalam kamus kita, kata itu diartikan ‘penjelasan’ penjernihan’ atau ‘pengembalian kepada apa yang sebenarnya’. Jadi kalau ada hal yang kurang jelas, hal itu perlu dijernihkan lagi, kalau agak kabur atau samara-samar, perlu dijernihkan, dan agar menjadi jelas benar, perlu dikembalikan kepada pengertian awalnya yang sebenarnya. Contoh pemakaiannya dalam kalimat berikut: “Kantor Menneg LH akan minta klarifikasi Lumpur Singapura” (Suara pembaruan, 6/4 19-4-2000)
Sebagai kata benda (nomina) kata itu dapat dijadikan kata kerja (verba) dengan membubuhkan imbuhan meng-kan atau di-kan; mengklarifikasikan, diklarifikasikan. Misalnya: Masalah politik yang ruwet itu perlu diklarifikasikan lagi agar menjadi jelas, tidak samara-samar pengertiannya.
Kata primordial ada dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis. Ketiga bahasa itu memungutnya dari bahasa Latin primordium (primus dan ordion). Arti sebenarnya ‘asal’ atau yang bermula’. Dalam KBBI diartikan: (1) Bio termasuk dalambentuk atau tingkatan yang paling awal; (2) paling dasar. Mari kita lihat contoh pemakaiannya dalam kalimat, “Apabila kerusuhan dan konflik horizontal selalu disederhanakan menjadi sekedar konflik yang disebabkan oleh perbedaan cirri-ciri primordial, hal itu akan mendorong terjadinya ekskalasi konflik yang sangat cepat intensitasnya. (Kompas, 6/5, 15-5-2000)
Mereka bukan lagi menjadi acuan kepada yang di atas, melainkan lebih suka memakai symbol-simbol primodialistik untuk menunjukkan identitas barunya. Di sinilah baru berkembang primordialisme sempit. (Kompas, 6/5, 15-5-2000).
Yang paling sering kita temukan adalah perasaan senasib dari sekelompok orang atau adanya ikatan primordialistik (berasal dari satu daerah atau kelompok masyarakat/suku tertentu). (Sabda Bina Umat, “Galatik” Sept.Okt. 1999).
Mudah-mudahan dengan penjelasan singkat di atas menjadi jelas bagi Anda apa arti kata-kata serapan itu dan Anda dapat menggunakannya dalam kalimat secara tepat.
(Prof. Dr. J.S. Badudu)
Intisari, September 2000, No.446, Th.XXXVII, Hal.148-149
26 Mei 2009
Kata Kerja Bentuk Persona
Contohnya :
Ali menulis surat. (berawalan me-)
Itik itu berenang di kolam. (berawalan ber-)
Anak-anak itu mandi di sungai. (tanpa awalan)
Kata kerja bentuk pasif yang pertama berawalan di-
Contohnya :
Surat itu dikirimkan Ali tadi.
Gerobok ditarik oleh lembu.
Sayur-sayuran dijual di pasar itu.
Pelaku pekerjaan untuk kata kerja bentuk di- adalah orang ketiga : Ali, lembu, dan penjual sayur. Dalam bahasa Indonesia, bila pelaku orang pertama dan orang kedua, bentuk kata kerjanya seperti itu. Kata kerja tidak diberi awalan dan di depannya ditempatkan pelaku (kata ganti orang).
Contohnya:
Surat itu saya kirimkan tadi.
Surat itu kami kirimkan tadi.
Surat itu engkau kirimkan tadi.
Surat itu kalian kirimkan kapan?
Bentuk-bentuk seperti itulah yang disebut bentuk persona karena persona mendahului kata kerja. Bentuk dikirimkan oleh saya, atau dikirimkan oleh kami, oleh engkau, oleh kalian, oleh Anda bukanlah bentuk baku. Ada juga digunakan orang, tetapi itu muncul karena pengaruh bahasa daerah, misalnya bahasa Sunda.
Bila pelaku orang pertama aku atau saya, orang kedua engkau bentuknya dapat dipersingkat menjadi ku dan kau dan dilekatkan pada kata kerjanya itu seperti awalan: kukirimkan, kaukirimkan. Bentuk ku- dan kau- itu disebut bentuk klitika. Dalam penulisan, tidak boleh dituliskan sebagai dua kata: ku kirimkan, kau kirimkan.
Sebenarnya yang ingin saya jelaskan di sini mengenai bentuk persona itu ialah selain cara menulisnya bila personanya disingkat adalah cara orang merapatkan kalimat. Merapatkan kalimat ialah menghilangkan salah satu fungsi yang sama dalam salah satu klausa pembentuk kalimat majemuk.
Contohnya: Adi menangkap ayam itu dan menyembelih ayam itu. Fungsi objek ayam itu disebutkan dua kali. Kalimat itu dapat dirapatkan menjadi: Ali menangkap, lalu menyembelih ayam itu. Objek ayam itu di belakang kata menangkap (predikat kalusa I) dapat saja dihilangkan.
Perhatikan contoh kalimat bentuk persona (pasif kedua) berikut ini:
- Ayam itu saya tangkap, lalu saya sembelih.
- Ayam itu kutangkap, lalu kusembelih.
Kalimat di atas biasa dirapatkan orang sebagai berikut:
- Ayam itu saya tangkap, lalu sembelih.
- Ayam itu kutangkap, lalu sembelih.
Perapatan kalimat bentuk persona seperti di atas menurut aturan bahasa tidak dibolehkan. Mengapa? Bentuk saya tangkap (kutangkap) dan saya sembelih (kusembelih) sudah merupakan satu kata walaupun ditulis terpisah sebagai dua kata. Dalam bentuk klitika dituliskan betul-betul sebagai sepatah kata. Itu sebabnya kata saya tidak boleh dihilangkan dari kata kerja itu.
Contoh lain:
Setelah pisau itu saya bersihkan dan saya asah, saya berikan kepada Ibu.
Jangan dijadikan:
Setelah pisau itu saya bersihkan dan asah, saya berikan kepada Ibu.
Contoh perapatan kalimat memenuhi syarat:
Kami mendengar letusan itu, ketika kami sedang makan. (sama subjek)
Kami mendengar letusan itu, ketika sedang makan (dirapatkan dengan menghilangkan subjek kami pada klausa kedua).
Kiranya keterangan di atas dapat menjadi petunjuk dalam merapatkan kalimat.
(J.S. Badudu)
Intisari, Juli 2000 No.444 Tahun XXXVII, Hal.138-139
25 Mei 2009
Tersangka, Terdakwa, Terpidana, Terhukum
Kata tersangka merupakan kata turunan dari kata sangka yang bermakna ‘duga atau curiga’ Kata duga dengan kata turunannya menduga, bermakna ‘menyangka’ . Kata mencurigai yang merupakan kata turunan dari kata curiga bermakna ‘kurang percaya atau sangsi terhadap kejujuran seseorang’.
Di pihak lain , kata terdakwa merupakan kata turunan dari kata dakwa yang bermakna ‘tuduhan, pengaduan atau tuntutan yang diajukan kepada hakim’. Kata tuduhan atau lebih tepatnya kata menuduh yang merupakan kata turunan dari kata tuduh berarti ‘menunjuk dan mengatakan bahwa seseorang melakukan perbuatan yang melanggar hukum; terdakwa’
Maka terlihat bahwa unsur menduga, mencurigai, menyangka terdapat pada kata tersangka. Pada kata terdakwa terdapat unsur menuduh dan mengajukan tuntutan kepada hakim. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kedua kata tersebut tidak merupakan kata yang bersinonim. Jika kata mendakwa seseorang, kita yakin bahwa orang tersebut melakukan suatu pelanggaran. Untuk mendakwa seseorang, kita sudah harus membuktikan kesalahan yang dilakukannya.
Seseorang dikatakan tersangka jika kita mencurigai dia melakukan kesalahan. Sangkaan atau dugaan kita itu harus dibuktikan terlebih dahulu. Jika ternyata dugaan kita tidak terbukti, orang tersebut terbebas dari rasa curiga kita. Akan tetapi, jika dugaan kita terbukti, kita dapat mengajukan orang itu ke persidangan. Orang tersebut dapat ditahan oleh pihak yang berwajib. Sampai hari persidangan, baik sebagai tahanan rumah maupun sebagai tahanan di penjara. Dalam hal ini status orang itu dari tersangka berubah menjadi terdakwa.
Lalu, kapankah seseorang dikatakan terpidana atau terhukum? Kata terpidana merupakan kata turunan dari kata pidana yang bermakan kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi). Memidana berarti ‘menghukum seseorang karena melakukan tindak pidana’. Kata terpidana bermakna ‘dikenai hukuman; orang yang dikenai hukuman’. Jadi dalam kata terpidana terapat unsur dikenai hukuman. Kata dikenai berasal dari kata kena yang bermakna ‘tidak bebas dari’. Dalam hal ini , tentunya tidak bebas dari hukuman. Kata hukuman itu sendiri berarti ‘keputusan yang dijatuhkan oleh hakim’. Berdasarkan analisis ini, kata terpidana berarti ‘seseorang yang dijatuhi hukuman karena melakukan suatu tindak pidana (suatu kejahatan).
Kata terhukum bermakna ‘dihukum; orang yang dihukum atau orang yang dijatuhi hukuman’. Kata terhukum merupakan kata turunan dari kata hukum. Salah satu makna kata hukum adalah ‘keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan)’. Jadi, di dalam kata hukum terdapat unsur memutuskan yang bermakna ‘ menetapkan atau menentukan’. Kata menghukum bermakna ‘menetapkan hukuman untuk atau menjatuhkan hukuman kepada’.
Jika kita melihat analisis kata terpidana dan terhukum, kita dapat menyimpulkan bahwa terhukum dan terpidana merupakan dua kata yang bersinonim. Di dalam kata memidana terdapat unsur menghukum. Kata terpidana mengandung unsur dikenai hukuman dan kata terhukum mengandung unsur dijatuhi hukuman.
Sebagai penutup, marilah kita merangkum keempat istilah tersebut. Seseorang dikatakan tersangka jika ia diduga melakukan kesalahan. Jika dugaan kesalahan itu terbukti, ia menjadi terdakwa dan dia diajukan ke pengadilan untuk diadili. Dia akan menjadi terpidana atau terhukum, jika hakim memutuskan dia bersalah dan menghukumnya sesuai kejahatan yang dilakukannya.
08 Mei 2009
Engau dan Kabut
yang bergelayut. udara dingin ini , ternyata menyimpan api
di tubuhmu. aku ingin segera menciummu, mambuat
gelinjang-gelinjangkecil saat bibirmu kukulum. aku tahu
akan mendapatkan rasa belerang dari bibirmu
tapi aku tak peduli. rasa laparku akan terpental jauh
sehingga tak perlu lagi aku menghamba dalam mimpi
tapi aku tak melihatmu. terlalu luas danau batur bagi tubuhmu
yang kecil dan terlalu berlebihan bagi hamparan embun
aku cuma butuh selembar daun untuk menyimpan air mata
kerinduan ina. sebab perdu dan cemara yang berdiri tegak
sama berada di dalam dingin yang menyiksa. kekasih api
yang beranjak dari hasratku, tak bias meruntuhkan kabut
yang membungkus bayangmu. betapa tebal dingin di sini!
Riwayat Penulis:
ENDANG SUPRIADI, lahir 1 Agustus 1960. mulai menulis puisi dan cerita pendek sejak 1983. tulisannya tersebar di Suara Pembaruan, Suara Karya Minggu, Swadesi, Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat, Horison, Kompas, Koran Tempo, dan lain-lain. Beberapa kali memenagkan lomba penulisan puisi, baik yang diadakan di daerah maupun di Jakarta. Tiga cerpennya di jadikan sinetron:”Lelaki Itu Bernama Oding” (1991), “Sosok Bertopeng” (1992), dan “Protes” (1993). Juga menulis scenario sinetron antara lain Langkah-langkah dan Jendela Rumah Tetangga. Kumpulan puisinya, Tontonan Dalam Jam (1996). Sejumlah puisinya juga dimuat dalam beberapa antologi: Cerita Dari Hutan Bakau (1994), Sembilan Penyair Menatap Publik (1994), Antologi Puisi Batu I, Antologi Puisi Batu II, Antologi Puisi Kebangkitan Nusantara I, Antologi Puisi Kebangkitan Nusantara II, Antologi Puisi Getar, Antologi Puisi Sahayun, Antologi Puisi Nuansa Hijau, Antologi Puisi Serayu, Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Resonansi Indonesia (2000), Datang Dari Masa Depan (2000), dan lain-lain.
Setelah Itu
kesunyian beranak-pinak, sejumput rumput tumbuh
di luas laut, betapa keterasingan sepanjang padang air
jarimu yang kesetian jarum kompas, memburu
punjuru arah mata rumah; kemana mesti singgah
keyakinanmu pada aroma pintu
mengingatkanku pada ibu, saat-
saat setiap sebelum mengucap salam
diberi restu wewangian
untuk menciptakan ketuk, bunyi paling khidmat
yang dapat kuhirup dalam-dalam
tapi selalu, di muka pintu, tak ada sesiapa
berdiri mirip siapa pun, apalagi ibu
hari berlari, tahun berduyun
menyimpan kematian sebagai kado kejutan
hadiah yang tak banyak dinantikan
Riwayat penulis:
RUDY RAMDANI,
Lahir di Purwakerta, 23 Juni 1982, alumnus jurusan pandidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS Uneversitas pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Mantan ketua umum Komunitas Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS). Puisi-puisinya dipublikasikan di media local dan nasional. Dimuat juga dalam beberapa antologi puisi, antara lain Reminisensi Pada Mata Bocah (ASAS,2001), Lalu Badailah (Ruh Sajak,2004), dan Roh: Kumpulan Puisi Penyair Jawa Barat-Bali (Bakupop, 2005).
“Pergilah, jenguklah tanah kelahiranmu. Apakah engkau tidak rindu?
“Rindu sih, rindu. Tapi kerabat di di saja jarang berkirim surat padaku.”
“Mungkin mereka tidak mengetahui alamatmu, Martinus. Mungkin sekali. Peperangan telah memisahkan semua orang. Sebagian kawan-kawan kita telah mengungsi ke Halmahera pada waktu itu, dan tidak kembali. Sebagian lagi pergi ke Makasar, dan tidak pernah kembali. Apakah kau seperti mereka juga?”
Ia semakin tergugah. Telah lama ia ingin pulang. Sebelum perang saudara pecah, ayahnya yang dinas di ketentaraan kebetulan berada di Jakarta dan tidak diperkenankan kembali karena berita pemberontakansudah tercium oleh pemerintah pusat. Martinus dan ibunya serta adik-adiknya, mentusul ke Jakarta dan menitipkan rumah dan kebun-kebun cengkehnya kepada keluarga dekat. Beberapa bulan kemudian pertikaian erdarah pecah. Sejak itu, selama bertahun-tahun ia kehilangan kontak dengan kerabat-kerabat dekat,sampai saat terakhir, setelah pemberontakan dipadamkan, tidak ada kabar berita dari kampong halaman. Ayahnya sudah tidak dinas lagi. Ayah dan ibunya tidak pernah mendorongnya kembali ke tanah kelahiran, entah mengapa, ia sendiri tidak tahu. Setiap kali berbicara mengenai kampong halaman, ayah dan ibu bungkam. Wajah mereka menunjukkan suasana murung.
Tetangga itu sudah kembali ke Manado. Sebelumnya ia mengajak martinus untuk pulang versama-sama. Tetapi karena ada pekerjaan yang harus diselesaikannya di kantornya, ia katakana ia menyusul, entah tahun depan. Masa remajanya dihabiskan di kota pegunungan itu. Ia ingin bertemu dengan kawan-kawan remaja yang dahulu, inginmendaki gunung dan melihat puncak gunung berapi yang tinggi. Ia ingin memancing di rawa-rawa yang luas. Teringat akan bau cengkeh yang mekar bagai selimut gunung dari kejauhan. Ia ingin panjat pohon, untuk memuaskan rindu masa kanak yang dahulu. Udara pegunungan yang segar serasa merasuk ke dalam paru-paru saat mengingatnya.
Beberapa menit sebelum mandarat di lapangan udara, martinus masih menyaksikan gunung berapi yang hangus puda puncaknya. Belum lama berselang setelah “tidur” sekian puluh tahun, memuntahkan isi perutnya dan menutupi pepohonan dan kampong-kampung di bawahnya.
Dengan “taksi” ia menuju kota. Taksi yang diisi oleh banyak orang, sejenis angkutan di pulau jawa. Dalam waktu setengah jam ia sudah tiba di ibu kota sulawesi utara itu. Dan sejam kemudian ia melanjutkan perjalanan kea rah pegunungan. Bau udara pedesaan dan pegunungan kembali mengisi rongga paru-parunya, mengigatkan ia kepada masa remajanya yang sering bermain dibawah pohon cengkeh dan pohon kelapa. Ia merasa heran melihat tugu yang berdiri di setiap simpang jalan ke kota lain. Dalam hati ia berkata mengapa banyak tugu di setiap simpang menuju kota yang lain. Dulu tidak ada tugu-tugu semacam itu. Apakah ini benar-benar negeri seribu tugu seperti yang pernah dikatakan oleh seorang wartawan sehabis perang saudara? Semula ia tidak memperhatikan sindiran wartawan itu. Tetapi sekarang ia menyaksikan sendiri betapa tugu itu nyata dan masih ada di hamper semua pintu masuk kota pegunungan.
Menjelang petang ia tiba di tanah kelahirannya, sebuah kota kecil di pegunungan. Daun-daun pohon tampak memutih, mungkin debu dari letusan gunung berapi beberapa waktu yang lalu. Ia terkejut melihat terminal kendaraan yang berlubang-lubang, dan rumah-rumah yang setengah hangus di sana-sini. Dengan melangkah keluar dari terminal itu, ia melihat beberapa rumah baru terbuat dari tala, batu bata buatan sendiri, yang belum dilapisi dengan semen. Dimana-mana tampak pemandangan yang tidak lazim. Bangunan-bangunan setengah jadi, reruntuhan rumah yang terbengkalai. Pasar yang kumuh, kantor desa dan pos koramil yang berlubang-lubang bekas peluru. Ketika kepalanya ditegakkannya, memandang ke atas, ia menatap rumah sakit yang masih utuh di atas bukit.
“Hai, martin! Jadi juga kau datang?” sapa orang yang tiba-tiba menyentuh pundaknya.
“Hei,ruben. Kau bikin kaget saja!”
Dialah tetangganya yang bertemu dengannya di reuni di Jakarta tempo hari.
“Kau heran melihat kota kecil ini?” tanyanya.
“Ya, ben. Seperti asing bagiku. Mana rumahmu?”
“Mari, mampirlah,” kata ruben.
“Mengapa kota kecil ini jadi begini?” Tanya martinus sambil berjalan.
“Itulah,” sahut ruben, “kota kecil ini baru bangun dari reruntuhan. Ketika perang saudara dahulu, kawan-kawan bermarkasdi sini dan berjuang mati-matian mempertahankannya dari gempuran pusat. Ya, perang saudara itu begitu kejam. Pemuda-pemuda yang berjuang sampai titik darah terakhir digempur habis-habisan disini. Satu demi satu rumah runtuh dan kota kecil ini kemudian ditinggalkan pejuang yang sisa. Ketika pertikaian berdarah itu berakhir, kota ditemukan penghuninya sudah rata dengan tanah.”
Martinus menarik nafas dalam-dalam.
“Masuklah!” kata ruben.
Martinus terbangun dari renungannya. Entah kenangan apa yang menyelinap dalam benaknya melihat sekitarnya, sisa-sisa perang saudara.
“Rumahmu?” tanyanya.
Ruben mengangguk.
“Tidak seperti dahulu,” kata martinus. “semuanya sudah berubah.”
“Ya. Ketika panen cengkeh dahulu dengan harga yang lumayan, rumah ini dibangin kembali. Seandainya saja dulu. Asal dapat ditempati.”
“Tentunya kau beruntung. Yang lain yang saya liat masih tinggal kerangka dan reruntuhan.”
“Mereka yang punya belum kembali dari pengungsian. Entahlah mereka menetap di sana. Sebaiknya mereka kembali membangun kota kecil ini dan memulihkannya sebagai kota peristirahatan di gunung, seperti dahulu.”
“Martinus memandang ke sekitar rumah, tampak bangunan-bangunan setengah jadi. Di arah ke bawah, pada lereng gunung yang tigak begitu tajam, ada beberapa bangunan yang sudah jadi, dan di belakangnya, beberapa pohon kelapa yang gosong separuh, walaupun masih berdiri tegak. Ada juga rumah di sebelahnya yang gentingnya pecah-pacah.
“Kau ideali sekali,” kata martinus sambil masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi yang terbuat dari kayu.
“Tidak juga, martin. Pernah kucoba merantau ke daerah yang lain, tapi tidak berhasil. Aku kembali ke sini karena disini kurasa ada sesuatu yang dapat kulakukan, seperti dahulu pernah diakukan orangtuaku.”
“Dimana mereka kini?”
“Siapa?”
“Orang tuamu?”
Ruben tidak segera menjawab. Ia menatap ke dinding, tempat potret kedua orangtuanya yang tergantung di dinding, di samping potret seluruh anggota keluarga.
“Mereka sudah tiada, martin. Meninggal waktu perang dahulu……”
“Oh, aku tidak tahu.”
“Tidak apalah. Itu masa lalu. Juga sebagian saudara-saudara itu, kenal bukan? Susan tertembak ketika bertugas sebagai petugas medis; fredi tewas waktu bertempur di kota kecil ini…dan aku serta beberapa adikku sempat meloloskan diri…. Ah,sudahlah.”
“Aku turut bersedih,” kata martinus.
“Silvy, ini ada tamu dari Jakarta,” kata ruben.
“Seorang perempuan usia tiga puluh muncul dari kamar.
“ Iteriku, kenalkan.”
Martinus berdiri dan menyalaminya.
“Nanti kita menuju rumahmu yang dulu,” kata ruben, “istirahatlah dulu sejenak. Atau kalau mau bermalam si sinilah.”
Malam itu mertinus menginap dirumah ruben.
Pagi-pagi sekali., ia sudah terbangun. Tidak ada celoceh burung seperti dahulu. Matahari menyengat lewat jendela. Ingin sekali ia mengetahui keadaan rumahnya, tempat ia lahir, dibesarkan dan bermain-main.
Rubenmengajaknya keluar pagi itu. Dibawah terpaan sinar matahari yang keras, tapi hembusan angin pegunungan, membuat sengatannya tidak begitu tajam.
Setelah melewati daerah rawa-rawa, mereka sampai di sebuh ladang yang ditumbuhi oleh cengkeh yang kurang terawatt. Pohon-pohon cengkeh yang tinggi berbaris menutupi lading yang melengkung. Ditengah-tengahnya ada sebuah bangunan yang nyaris tidak beratap dan dindingnya bolong-bolong.
Martinus berhenti dan menyandarkan tubuhnya ke batang pohon cengkehyang besar, yang berdiri tegak. Ia memejamkan matanya. Barangkali membayangkan kembali masa dahulu, rumah yang indah diantara pepohonan cengkeh dan kelapa. Ayah dan ibu yang merawat kebun dengan baik dan cengkeh yang berbuah rendah. Tangkai-tangkai cengkeh yang sarat buah nyaris menyentuh tanah. Tapi kini cengkeh sudah tinggi, sukar dipanjat. Adakah keinginan yang dahulu, ketika berada dijakarta, ingin memanjat pohon cengkeh yang kini begitu tinggi?
Ruben mengguncang bahunya. “Heh, bangun dari lamunanmu! Lihatlah kenyataan ini! Lihat! Rumahmu yang masih utuh. Kau dapat memperbaikinya. Pohon cengkeh yang tinggi, kau dapat menggantinya dengan benih-benih yang baru. Ini bumi tuhan, yang memberikan kehidupan kepadamu! Lihat kenyataan ini! Ayo kita masuk ke dalam rumahmu!”
Ditariknya tangannya. Mereka berdua melangkah.
Martinus meneteskan air mata ketika ia melihat dapur yang hancur, kamar tidurnya yang bolong-bolong dindingnya. Lantainya yang berdebu dan atap yang hanya tinggal kerangka.
“Kau lihatlah, rumah ini menanti jamahan tanganmu. Lading ini menunggumu. Bangunlah kembali rumah dan ladangmu ini. Kalau bukan kau, siapa lagi yang harus mengurusnya?”
Martinus tidak bereaksi. Tampaknya ia masih terpukau oleh baying-bayang masa lampau daripada kenyataan masa kini. Ia keluar ke belakang dan melihat sumur yang dalam. Ia menjatuhkan sebutir batu bundar yang kecil dan mendengar decak air.
Ruben menarik tangannya sambil berkata,”Kau mau bertemu dengan teman-temanmu semaja remaja dahulu?”
“Ya,” jawab Martinus. “dimana mereka?”
“Kediaman mereka tidak jauh dari sini. Lima belas menit perjalanan. Ayolah!”
Keduanya berjalan menurun, kearah utara. Di balik pepohonan mereka melihat rumah yang dihuni. Beberapa orang menjemur cengkeh di halaman rumah sementara beberapa orang lagi meyusun karung di kolong rumah tinggal yang tinggi. Setelah itu mereka sampai disebuah tempat tanpa bangunan.
“Dimana mereka?” Tanya martinus.
“Disini! Lihatlah kebawah.”
“Nisan?”
“Ya. Bacalah nama-nama yang tertera disana.”
Martinus membaca satu demi satu nama di atas nisan itu. Nama, tanggal lahir, tanggal kematian: Rudi,Susan, Hengki, Titus, Franky, Julius, Turman, Bartomeus, Jonatan, George, Jimmi…
Martinus pusing. Ia tidak dapat meneruskan pembacanya. Nama-nama itu, wajah mereka terbayang di benaknya. Semuanya mati muda. Mereka yang baru mekar tapi luruh waktu muda. Bukan di makam pahlawan. Mereka mati dibumi tuhan. Mereka lahir, dibesarkan dan mati disini.
“Siapa yang harus meneruskan perjuangan mereka untuk membangun negeri ini, martinus?” Tanya ruben ketika mereka duduk di atas sebuah kayu yang tumbang sambil menatap ke kaki gunung. “Mereka sudah tiada, demi negeri ini. Demi kepentingan bangsa, ya demi dari sekian demi yang sering kita dengarkan dalam pidato para polotikus.”
Martinus tudak menjawab. Ruben yang berbicara perlahan, mengejitkannya. “Katakan pada ayahmu bahwa penduduk kota ini mengasihinya. Tidak lagi membencinya. Katakan padanya, bahwa mereka sudah melupakan masa lampau….”
Martinus tidak mengerti. Di dalam baying-bayang pikirannya terlintas wajah ayah yang murung, setiap kali berbicara mengenai tanah kelahirannya.
Ketika ia duduk kembali di dalam pesawat menuju Jakarta, ia menatap kebawah, melihat kepundan gunung berapi, dan menyaksikan kota telaga batu yang sedang mengeliat di antara reruntuhan, dan pohon cengkeh yang tua, merindukan peremajaan.
WILSON NADEAK
Lahir diporsea, Sumatra utara,5 desember 1942. Tahun 1965 ia lulus dari jurusan theologia perguruan tinggi advan,bandung dan tahun 1970 lulus dari jurusan inggris akademi bahasa asing,bandung.
Ia pernah menjadi redaktur pemuda advan(1961),mingguan sinar (1964),truna jaya,pemimpin redaksi atau penanggung jawab penerbitan Indonesia publishing house dibandung,pengajar di universitas padjajaran bandung.
Ia banyak menulis buku rohani karyanya : mutiara perempuan pantai (1968),
Ketika badai tertiup (1973)
Bayang-bayang keselamatan (1973)
Pengungsi-pengungsi dan cerita lainnya (1976)
Orang-orang merdeka (1977)
Bagaimana menjadi penulis yang sukses (1983)
Tentang sastra (1984)
Sekilas gambaran dunia sastra Indonesia (1984)
Wajah (1984)
Hari-hari dalam hidupku (1984)
Pengadilan cinta dan hati nurani (1985)
Ditepi sungai babilon (1985)
Pengajaran apresiasi puisi untuk sekolah lanjutan atas (1985)
365 halaman menuju sukses (1986)
Stasiun kereta suatu senja (1994)
Dan lain-lain.
Pertemuan di Taman Hening
Ayo, pukul lagi, Kas! Pukul lagi! Matikan aku! Matikan!
Suara itu menjelma raungan, tapi hanya mampu didengarnya dari balik sanubari sendiri.
Kas mendengus. Cuping hidung lelaki tegap itu membesar dan napasnya terdengar begitu menderu “Perempuan bodoh!” teriaknya sekali lagi sebelum ia membanting pintu.
Sih sudah tak punya air mata. Kbisuan kembali merengkuhnya. Ia rasakan sekujur tubuhnya menggigil. Ada dingin yang menyengat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyerga.
“Kita akan menikah, Sih. Kau yang paling perempuan di jagad ini. Aku tak akan melepaskanmu!”
Di mata Sih, senyuman Kas seperti lengkungan pelangi terbalik yang menghiasi cakrawala. Pendarnya menggetarkan pojok-pojok sunyi dalam galau diri Sih. Seperti juga Kas, pada waktu itu Sih tak pernah berfikir ada lelaki yang lebih sempurna, yang Tuhan ciptakan selain Kas. Kas hanya dapat dikalahkan oleh para Nabi, bukan oleh manusia biasa. Apakah yang tak dimiliki Kas? Ia mapan, keturunan baik-baik, berjiwa satria, tampan, pintar…. Lelaki macam mana yang diperlakukan seorang perempuan selain yang seperti itu?
“Aku tetap akan menulis. Bukan untuk membantumu atau keuangan kita, tapi untuk diriku sendiri. Dan kamu Mas…, adalah inspirasiku yang tak pernah habis,” katanya beberapa hari satalah manikah.
Kas mengerjap-ngerjapkan matranya beberapa kali, menggoda Sih. Lesung pipitnya yang dalam tampak seketika. Lalu gemas ditekanya kedua pipi Sih dangan dua tangannya yang lebar dan kokoh. “Kau boleh melakukan apa saja, cinta,” katanya bagai penyair pemula. “Tahukah kau? Aku menikahimu karena engkaulah pengarangku. Lagi pula, kalau ingin bekerja yang lain, silakan. Aku bukanlah seorang sipir dan rumah ini bukan penjara yang akan mengurungmu,” bisiknya kemudian di telinga Sih.
Lima tahun. Lima tahun Kas dan Sih berumahtangga. Sih merasakan kebahagiaan bagai air terjun yang menyerbu-nyerbu dirinya. Ia mengenali pelangi semesta yang sama, yang dimiliki semau manusia, berpindah hanya mamendari rumah mungil mereka.
Sih tak pernah berhenti mengarang, sesuatu yang ditekuninya jauh sebelum ia bertemu Kas. Sementara Kas masih pegawai negeri di kecamatan.
Maka hari berkejaran di halaman waktu tak ubah kanak-kanak yang berlarian di lapangan luas tak jauh dari rumah mereka. Dan saat mata Sih melihat seorang anak jatuh, ia merasakan kembali keroak luka di batinnya.
Betapa jauh berbedanya Kas kini dengan Kas yang di kenalnya bertahun lalu. Ia tak boleh salah bicara di depan Kas, tak boleh menunjukkan wajah yang murung bila tak ingin lelaki itu menghantamkan tangan yang dulu selalu di pakai membelai Sih, ke sekujur tubuhnya bertubi-tubi. Kadang tanpa alasan Kas mencaracau, mencela, mengeluarkan kalimat-kalimat kasar dan menggelegar yang menjadi sengatan-sengatan strum di batin perempuan itu.
Bicara atau tidak, tersenyum atau tidak di hadapan Kas, menurut Sih tak akan mengubah apa pun. Kas sebenarnya hampir pergi. Setapak lagi, ia akan untuk selama-lamanya meninggalkan rumah mereka. Atau mungkinkah lelaki yang dicintainya akan mengusirnya? Sih mendengar gelegar tawa yang nyelekit itu saat usia pernikahan mereka genap lima tahun. Saat ia bertanya pada Kas tentang perempuan itu. Ya, perempuan penari itu. Usai tertawa itulah secara tiba-tiba Kas menjambak rambutnya hingga tubuhnya limbung beberapa saat. Kas meninju mulut Sih hingga gigi depannya patah dua! Ketika itu hati Sih berdetak. Ia akan kehilangan Kas!
Apakah perempuan itu yang membuat Kas berubah?
Perempuan penari itu muncul di hadapannya dengan wajah mengejek, seolah berkata: Hei, suamimu yang mengejar-ngejar aku. Ia memohon cinta dan berlutut di kakiku. Apa yang telah kau lakukan hingga ia lari dari sisimu?
Ya, apakah? Mengapa?
Sih kembali mengingat-ingat. Mungkin ia melakukan sesuatu yang salah atau menyakitkan Kas. Namun yang ia temukan hanya samudra cinta yang hampir meneggelemkan dirinya pada lara, lima tahun terakhir.
Kas berhubungan dengan perempuan penari yang ayu itu entah sejak kapan. Tetapi luka-luka cinta kian compang-camping dalam dirinya sejak lima bulan lalu, saat Kas hanya menyentuhnya dengan penuh kebencian.
Dan kini, salakah ia bila menjalin hubungan dengan lelaki itu? Ya, lelaki dengan mata elang, yang selalu datang dan pamit dengan senyum berjuta kupu-kupu. Sih kerap merasa lelaki itu memiliki kemiripan yang banyak dengan Kas.
Beberapa hari ini mereka selalu berjumpa di taman itu. Taman rahasia atau taman putih, begitu Sih menyebut taman yang letaknya tak begitu jauh dari tempat tinggal Kas dan Sih. Di sana memang sepi. Teramat hening malah. Di sana juga putih. Sih sendiri tak mengerti mengapa taman itu seperti bersalju. Tapi di sana penuh dengan pepohonan dan bunga-bunga sebagaimana seluruh taman di dunia ini. Kupu-kupu, burung-burung kecil melayang-layang. Beberapa diantaranya hinggap di ranting pohon yang coklat atau hijau pekat. Mereka menatap Sih dan lelaki itu seakan mau tahu apa yang mereka perbincangkan dan lakukan di taman hening itu. Ada yang berdesir. Angin rindu di hati Sih. Dan ia menikmati kerinduanya pada lelaki itu.
Sebelumnya selain kepada Gusti Allah, Sih hanya mau bercerita pada bunga, serangga, dan burung-burung kecil di sana. Lalu lelaki itu hadir. Ah ia rindu untuk menimang bayi. Banyak atau satupun tak apa. Sih terkesiap saat menyadari boleh jadi Kas berpaling karena kerinduan yang mendesak terhadap kehadiran seorang anak. Seorang anak yang hingga kini belum mampu diberikannya.
“Seorang perempuan di hargai karena banyak hal yang membuatnya hadir secara berarti dalam sebuah pentas bernama kehidupan, Sih. Ketiadaan seorang anak tak lantas membuatmu menjadi tak berarti,” kata lelaki itu padanya.
Sih memandang lelaki itu dan menikmati setiap ucapannya yang semilir. Ah, andai saja Kas yang berucap demikian. Bukankah Kas dulu pernah mengatakan hal yang hampir mirip?
“Sih…,“ tangan lelaki itu menyentuh. Sih ingin menggeser duduknya sedikit, tapi ia tak mampu. Burung-burung bercicit ramai di atas dahan-dahan pohon besar yang menaungi Sih dan lelaki itu. Bangku putuih menyaksi. Lelaki itu mencium keningnya.
Aku berkhianat, bisik Sih. Tidak. Ya, aku berkhianat. Aku telah mencintai lelaki itu. Kau memang mencintainya, dia mencintaimu. Suamimu kasar, suka menganiaya. Suamiku selingkuh? Ya, di depan matamu. Jadi, kau dan lelaki itu. Aku dan lelaki itu. Ia seperti Kas. Ia bukan Kas. Ia Kas.
“Aku menulis puisi untukmu, Sih,” suara lelaki itu terdengar lagi.
“Puisi?” lirih Sih.
Ia jadi ingat puisi yang di tulisnya untuk Kas. Puisa yang tak pernah sampai. Waktu itu ia melipat kertasnya bagai pesawat mainan dan menerbangkannya. Kertas puisi itu jatuh tak jauh dari ruma mereka. Sih baru ingin memungutnya, namun angina menerbangkan lagi bersama butiran pasir. Pasir-pasir menimbun kertas itu setengah hati dan tiba-tiba Sih tak peduli.
“Aku akan membacanya untukmu,” suara lelaki itu lagi.
Dan sekonyong-konyong Sih ingat bunyi puisi yang di tulisnya untuk Kas:
Meranggas darahku meranggas. Dan bumi kering, langit pias. Laut kita mati. Tandus berkarip sunyi.semesta gering mengantarku kembali padamu. Menyelusup pada sejuk alir darah, denyut nadi. Pada curahan keringatmu. Tapi laut kita sudah mati. Sudah mati…
“Bagaimana puisaku, Sih? Sukakah engkau? Apakah suatu hari nanti aku akan jadi pengarang sepertimu? Bagaimana menurutmu?” Lelaki itu tertawa, menampakkan gusinya yang merah segar. Mangapa ia seperti Kas? Kas juga dulu ingin belajar menulis puisi dan cerita….
Sih merasa ada air hangat di matanya. Lalu air yang dingin menetes-netes membasahinya. Semakin deras.
“Hujan,” sura lelaki itu. “Aku akan melindungimu dari hujan,” ia membuka jaketnya, membentangkannya ke tubuh Sih. Sih mencium aroma tubuh yang sama dari lelaki dan jaket itu. Seperti aroma yang telah menyatu dalam dirinya bertahun-tahun.
“Aku akan melindungimu dari segala, juga dari suamimu, “ujar lelaki itu lagi. “Aku akn membawamu pergi, Sih.”
“Haruskah aku pergi?” gumam Sih. Pergi berarti ia meninggalkan Kas selamanya. Pergi artinya memberi kesempatan pada penari itu untuk memiliki suami dan rumahnya. Untuk memiliki ranjang mereka.
“DEmi kau, demi kita.” Bisik lelaki itu. “Kau tak boleh bertahan dengan lelaki pemberang yang biasanya hanya memukulmu!” kali ini suara lembut itu mengeras.
“Aku ingin dilindungi. Aku ingin selalu dicintai…, aku ingin…”
“Aku akn mencintaimu selamanya, seperti aku mencintai surga,” lelaki itu merengkuhnya. Mereka berjalan menuju pondok kayu di tengah taman hening, pondok yang dibangun lelaki itu dengan tangannya sendiri, untuk Sih.
Dingin.
Dalam dekapan dan gelora diri, Sih mengenali aroma itu. Ah, ia tak sanggup lagi mengekalkan dusta. Air matanya merembes pada bantal diatas dipan. Sungguh, ia telah menciptakan sejuta lelaki di taman hening itu. Sejuta lelaki yang semuanya entah mengapa adalah Kas tapi tak sepenuhnya Kas. Lelaki-lelaki itu mengatakan mencintainya seperti surga. Kas tak pernah berkata seperti itu.
Sih beristighfar. Perlahan didihapusnya siisa-sisa air mata yang ada. Dengan gemetar jari-jari kurusnya mulai bergerak diatas mesin tik. Kas tak akan pulang lagi malam ini. Dan Sih, akan pergi ketempat itu lagi. Ke taman hening.
Sumber: Majalah Horison
Edisi: VII, 2007
Hal: 29-32
Riwayat penulis:
Helvy Tiana Rosa, lahir di Medan, 2 April 1970, memperolh gelar S1 dari Fakultas Sastra UI dan S2 dari Jurusan Ilmu Susastra, Fakultas ilmu Budaya UI. Ia pernah menjadi redaktur dan pemimpin redaksi majalah Annida (1991-2001), pendairi serta Ketua Umum Forum Lingkar Pena/ FLP (1997-2005), dan anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006). Kini ia tercatat sebagai Ketua Majelis Penulis FLP dan Anggota Majelis Sastra Asia Tenggara. Sehari-hari Selvy adalah dosen di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta. Sekitar 40 bukunya telah diterbitkan dan 10 naskah dramanya telah di pentaskan oleh Teater Bening (1990-2000). Cerpen-cerpennya telah diterjemahkan dalam bahasa inggris, Perancis, Jerman, Swedia, Jepang, dan Arab. Selain mengisi acara dalam berbagai forum di dalam negeri, Helvy juga diundang berbicara di Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, Jepang, Hong Kong, Mesir hingga Amerika Serikat. Ia pernah mandapat beberapa penghargaan, di antaranya sebagai tokoh Perbukuan IBF Award IKAPI (2006), Tokoh Sastra Eramuslim Award (2006), “Jaring-jaring Merah” sebagai salah satu cerpen terbaik Horison (1990-2000), anugrah pena untuk buku Lelaki Kabut dan Boneka (2002), Penghargaan wanita Indonesia Berprestasi dari tabloid Nova (2004),Ummi Award dan majalah Ummi (2004), dll. Buku terbarunya Tanah Perempuan (drama, Lapena 2007)
Banyak Merah di Bajunya
“lihatlah, rosa. Cincin ini sudah empat generasi di keluargaku, eyang buyut kettib anom haji mutamakin khusus memesannya dari klaten seabad yang lalu, diwarisi oleh eyangku, kemudian ibuku, kemudian aku. Seluruh handmade. Cincin begini tidak ada lagi yang membuatnya. Memang berliannya tidak halus, sengaja tidak diasah, namanya inten prongkolan, cicinnya juga bukan emas, ini swasa, orang menyebutnya emas jawa, dengan swasa berlian jadi lebih bercahaya. Aku ingin memberikannya padamu”.
Kamu memegang cincin itu, menelitinya seperti pedagang. Kemudian mencobanya di jari manismu. Menciumnya berberapa kali dan melepasnya kembali. Setelah itu terdiam lama sekali kamu bertanya
“Mengapa ?”
“sebenarnyalah aku mencintaimu sejak lama,” aku tak berani menatapmu. “ mengapa ?” tanyamu lagi.
“me-nga-pa? aku sendiri taktahu. Aku mencintaimu begitu saja. Kamu cantik, rambutmu bergelombang, pipimu gemuk, pintar, berani, galak, dan terkenal. Tapi gadis itu juga banyak bukan ? jadi me-nga-pa ? maafkan aku. Kalau kamu tidak suka, lupakanlah.”
Kamu tertawa berderai-derai. Lalu kamu cepat sekali mencium pipiku. “ simpan kembali. Jika kelak kita menikah, aku inignn memilikinya .” dengan cara seperti itulah kamu menyatakan cintamu. Kemudian hari-hari berlalu hamper tanpa perubahan. Kita dikirim dari tempat ke tempat lain, mengikuti peristiwa. Reportasemu menjadi trademark bagi program hot news. Tiada berita tnpa rosa. Produser dan redaktur memujimu. Slot iklan cepat sekali habis dalam dollar, mengalahkan telenovela, dan kemudian, semuanya tinggal kenangan, menyedihkan, sudah lama aku tidak lagi di lapangan, menyandang kamera seperti dulu. Setelah peristiwa itu, aku memutuskan berhenti. Bekerja dengan kamera berate mengenangkan terus menerus kenangan pilu itu. Sekarang aku mengajar dan sekolah lagi. Pekerjaan yang tidak menghasilkan bnyak uang. Tetapi aku menyukainya, paling tidak berusaha menyukainya. Sekiranya dulu kita bekerja di sinetron, mungkin kejiannya tidak seperti ini. Dalam sinetron juga ad pembunuhan-pembunuhan, sama tidak masuk akalnya, tetapi semua hanya bohong-bohongan.
Aku berusaha melupakanya. Tetapi tidak bisa. Setiap menonton telivisi, kamu juga yang nampak disana memegang mikrofon dan berbicara kepada pemirsa. Rambutmu yang bergelombang, pipimu yang gemuk, baju putihmu, elana jinsmudan pesona cinta di kafe itu.
Perubahan setenah hati. Itulah yang sering kamu katakana mengenai reformasi itu. Masa transisi ini tidak akan selesai-selesai sebab deadline-nya tidak menetu. Juga kita pun misalnya, mengimpor pemimpin dari luar negri. Sudah. Pemimpin kita semuanya alumni luar negeri.kesalahan kita hanyalah : kita terlalu banyak kompromi. Dan lihatlah katamu, mereka yang dulu namanya seperti karitni begitu duduk di posisi, perilaku tidak di pahami. Banyak eksperimen-eksperimen mereka yang berbahaya, dan celakanya, hanya dilandasi dengan mimpi. Setiap hari mereka mengigau untuk tetap menempati posisi sampai akhir hayat di kandung badan, bahkan dengan mengorbankan apa saja yang bias di korbankan. Meskipun tidak patut.
Pada masa itu, dan selanjutnya, kerusuhan dalah tema berita kita sehari hari. Dengan sadar kita menjadi bagian dari semua yang tidak kita hendaki itu, hasil dari niat dan tekat yang setengah setengah. Dalam situasi seperti ini, tanpa alasan apa pun orang bias salin membunuh. Kita dikirim di pulau itu, karena peristiwanya sedang ada disana. Kita beruntung kita bias menebeng helicopter polisi. Dari atas kita bias melihat juga para pemirsa televisi, rumah-rumah yang terbakar membentuk jamur-jamur asap. Jalanan penuh dengan orang yang beerlarian, seperti beras di tampian, bangkai manusia berserakan tak terurus. Truk-truk mengangkuti pengungsi ke pelabuhan. Tentara ada di mana-mana. Kerusuhan paling besar dan paling tidak beraturan yang pernah kita liput. Bahkan mungkin lebbih mengerikan dibandikan Balkan. Mulai dermaga itu, dan memang pusat peristiwa itu da di situ, sampai ke pusat kota. Kapal pengungsi bersiap mengevakuasi pengungsi.dari situ kita menddapatkan cerita-cerita yang tidak masuk akal. Ini benar-benar sperti mimpi, katamu. Kamu bekerja penuh gairah dengan nafsu investigasi. Peluh membasahi pilipismu. Dan kita tahu bahwa orang orang di Jakarta hanya berbicara tentang slot iklan. Kita on live.
“rosa di pulau bersamajuru kamera…. Saudara, kerusuhan yang ada di pulau sampai sekarang belum ada tanda tanda akan mereda. Menurut penguasa darurat sipil setempat, awal mula terjadinya kerusuhan antar etnis dan agama ini….”
Aku sukaa meng close up mu. Terutama ketika wajahmu kemerahan terkena terik matahari. Bibirmu yang penuh nampak indah sekali, seperti tomat matang, membuatku segan mengalihkan arah kamera. Sejujurnya. Setelah kamu menciiumku di kafe itu, kaaku ingin membalasmu. Mendekapmu dan memikirkan lain-lain selebihnya yang memalukan, sementara kamu berkonsentrasi menyampaikan informasi dari balik kameraaku mengintaimu.
Tiba-tiba kamu berteriak :” fahri! Lihat! putar kameramu! “ aku memutar kamera dan menyorot segerombolan orang berjibaku saling memusnahkan. Senjata tajam di ayun-ayunkan ke udara. Cres-cres-cres! Tentara menyebar dan menembak. “ lebih dekat lagi,” katamu “tidak!” jangan rosa! Ini sudah sangat berbahaya!” “ ayolah, kamu akan mendapatkan gambar gambar hebat!”
Kamu tak bias dicegah lagi. Dan kemudian seperti yang aku takutkan, kita terjebak di tengah huru hara. “ minggir rosa! Lari! Lari!” kita sudah terlambat. Sambil berlari undur, aku berusaha mendapatkan gambar gambar itu. Lalu dor dor dor itu. Kamera terpental berantakan. Telingaku seperti meledak. Kemudian ku lihat banyak merah di bajumu. Kamu terhuyung huyung sebelum terjatuh, aku menyambarmu. Darahmu mengalir dari punggungmu ke sela jari jari ku. Tetapi kamu masih sempat meraih mikrofon itu.
“ dapat gambarnya, ri ?” itu lah kalimat terakhirmu. Ampai di rumah sakit kamu sudah seputih kapas. Empat hari kemudian kamu mati. Studio dipenuhi karangan bunga, juga dari panglima. Seandainya segera saja aku memaksamu menyingkir begitu dor yang pertama itu, mungkin aku tidak duduk menyendiri di pojok studio dengan mata sembab. Maaf rosa, aku terpaksa menangis. Semua teman wartawan dating melepas kepergianmu. Hari itu wajahmu menghiasi halaman depan Koran-koran.
Dengan riasan pengantin kamu cantik berlipat kali, terbaring diam, untaian salib terjalin di tanganmu. Aku dating ke gereja menyaksikan misa requiem untukmu.sangat megah, sangat indah. Doa yang dinyanyikan itu membuatku pilu, perih, sepi.
Sisa mikrofonmu ditaruh dalam kotak kaca dan dipamerkan di lobi studio. Di dalamnya ada plakat dari tembagayang menerangkan mengenai peristiwa itu . studio VI, setempat ditayangkan, sekarang berganti namamu : studio rosa, pasti kamu tidak menyukainya. Sudah ratusan orang mati dalam kerusuhan itu, tidak pernah ada plakat, dan masih akan menyusul ratusan lagi.perlatan kita akan diganti oleh penguasa, meskipun itu tidak perlu. Karena semuanya telah disuransikan. Telinga kananku sobek, enam belas jahitan, pecah di dalam dan tuli untuk selamanya. Tidak ada yang bias mengganti, oleh mereka aku di tawari macam-macam, rumah, mobil, naik haji, dan apalagi kalau bukan uang dan uang. Aku tidak mau rosa, aku tidak mau. Kehilangan ini tak akan terganti. Cintaku kepadamu, seperti di dalam lagu, tak akan pernah mati.
Kamu menjelma jadi berita. Dengan hikmat, polisi berjanji di depan teman teman wartawan, untuk mengusut kejadiannya. Sejak semula aku pesimis, aku ditanyai seperti pesakitan. Aku bersumpah berkali kali bahwa itu bukan peluru nyasar juga bukan sekedar “ kesalahan prosedur”. Sama sekali bukan. Kamu sudah diincar sejak lama. Beritamu membuat semua orang tidak enak makan. Tetapi kemudian, seperti sudah, kasus kasus yang lebih besar menutup kasus mu ini. Pemred kita, rosa. Pemred kita yang telah kita anggap sebagai guru dalam jurnalistik dan idealisme, telah melakukan sejumlah kompromi kompromi dan itu berarti konsensi konsensi. Kasusmu masuk dalam the x file.
Ada tiga puluh orang pengacara, teman teman kita juga. Dating kepadaku berbicara panjang lebar tentang menutut polisi dan pemred kita. Mereka disponsori asosiasi, dank arena itu tidak perlu dipikirkan soal biaya, dan hanya dibutuhkan partisipasiku saja. Aku sudah sangat capek. Dulu pernah kita perjuangkan kasus yang serupa, tidak serumit kasusmu ini, berakhir pada jalan buntu. Jadi apalah arti semua omong kosong ini bila kau tetap mati. Penghiburanku sekarang ini hanyalah, aku tak jadi bertengkar dengan keluargaku karena menikahimu.
oleh :
Agus fahri husein
Lahir dibuleleng(bali), 28 februari 1964.
Pernah kuliah di fakultas ugm hingga tamat s1(1994)
Pernah bekerja sebagai wartawan dan editor buku di jogjakarta dan Jakarta
Menerjemahkan buku dan menulis kritik seni rupa.
Menulis cerpen sejak 1981 diantarnya :
* Antologi hijrah ( jamaah salahhudin ugm jogjakarta 1985)
* Antologi terompet terbakar (jamaah salahhudin ugm jogjakarta 1990)
* Antologi ambang (festival kesenian daerah DIY 1992)
* Diverse lives contemporary stories from Indonesia ( translate by jeanette lingard, oxford university press, 1995)
Majalah HORIZON
Terbit bulanan, tahun XXXV, no 7/2002
Juli 2002
24 April 2009
Tentang Taufik Ismail-5
(Taufik Ismail)
Berdiri di atas ketinggian tebing memandang panorama Indonesia hari ini, maka kita akan saksikan pemandangan menyedihkan ini :
Kita hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda
terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara di dunia
Penganggur 40 juta orang, anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid
pecandu narkoba 6 juta anak muda,
pengungsi perang saudara 1 juta orang,
VCD biru beredar 20 juta keping,
kriminalitas merebak di setiap tikungan jalan,
dan beban hutang di bahu 1600 trilyun rupiahnya.
Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol
di ruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya,
dan di punggung kita dicap sablon besar-besar
"Tahanan IMF dan Penunggak Hutang Bank Dunia"
Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu
menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.
Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali
Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku.
Dulu penjajah kita satu negara,
kini penjajah multi-kolonialis banyak bangsa.
Mereka berdasi sutra, ramah tamah luarbiasa dan berlebihan senyumnya
Makin banyak kita meminjam uang meeka makin gembira
karena leher kita makin mudah dipatahkannya.
Di atas adegan fisikal hancur-hancuran ini, belum lagi termasuk gempa bumi dan gelombang tsunami lalu bencana alam serta penyakit menular dan tidak menular yang menimpa masyarakat luas, dengan pedih kita rasakan nilai-nilai luhur yang berkeping-berantakan di sekitar kita :
Keimanan
Kejujuran
Ketertiban
Kesopanan
Pengendalian diri
Pengorbanan
Tanggung jawab
Kebersamaan
Keikhlasan
Optimisme
Kerja keras
Menghargai pendapat orang lain
Untuk menyebut 12 nilai luhur (yang bila diperlukan, masih dapat diperpanjang sampai 50 butir lagi), yang sudah cukup menyesakkan nafas kita. Orang biasa memadatkannya menjadi dua kata, yaitu keruntuhan akhlak :
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak
Berjalan aku di Sixth Avenue, Meydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Sebuah keruntuhan yang merupakan bencana luar biasa, pada saat orang tidak lagi mampu membedakan antara mana yang boleh, mana yang tidak boleh, atau mungkin masih tahu tetapi bila sampai pada pilihan gawat masuk-tidak-masuknya rezeki, maka kemampuan itu buyar :
Apalagi di negeri kita lama sudah
tidak jelas batas halal dan haram,
ibarat membentang benang hitam
di hutan kelam jam satu malam
Bergerak ke kiri ketabrak copet
bergerak ke kanan kesenggol jambret,
jalan di depan dikuasai maling,
jalan di belakang penuh tukang peras,
yang di atas tukang tindas
Untuk hari ini
bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia
sudah untung
Cita-cita menjadikan Indonesia negara industri secara ironi saya tuliskan sebagai berikut ini :
Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali.
Berbagai format perindustrian,
sangat menjanjikan,
begitu laporan penelitian.
Nomor satu paling wahid,
sangat tinggi dalam evaluasi,
hari depannya penuh janji,
adalah industri korupsi.
Prosedur investasi industri korupsi
tidak dipersulit birokrasi sama sekali
karena iklim kondusif, banyak fihak partisipatif,
cerah secara prospektif, sehingga sangat atraktif,
pasti produktif, semangatnya kreatif,
dan terhadap mereka yang reaktif dan negatif,
akan dipasang penangkis kuda-kuda antisipatif.
Sharebolder, stakebolder, dan key bolder
industri korupsi ini lebar sekali,
meliputi semua potongan hidung, pesek dan mancung
lalu bentuk mata, sipit dan membuka,
seluruh visi dan misi,
kelompok politisi,
praktisi ekonomi seluas-luas profesi
dipayungi oleh kroni,
hubungan famili,
ikatan ideologi,
suku itu dan ini
dari mana saja provinsi
Penamaan koruptor sudah tidak menggigit lagi kini,
istilah korupsi sudah pudar dalam arti,
lebih baik kita memakai istilah maling,
Malling dengan dua el, membedakannya dari maling dengan satu el.
Dinamika pengambilan benda yang bukan hak si pengambil, berkembang secara sangat terbuka, blak-blakan dan bersemangat justru dalam masa reformasi, setelah 1998, hingga hari ini :
Lihatlah para malling itu kini berfungsi dalam semangat gotong-royong
Mereka bersaf-saf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu’
Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya.
Begitu sistematik prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya.
Begitu khusyu’nya, engkau kira mereka beribadah.
Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada malling yang istiqomah?
Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya,
Membentang dari depan sampai ke belakang,
Melimpah dari atas sampai ke bawah,
Tambah merambah panjang deretan saf jamaah.
Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin.
Bagaimana melawan malling yang kerja gotong-royongnya berjamaah?
Bagaimana menangkap malling yang prosedur pencuriannya
Malah dilindungi dari atas sampai ke bawah?
Dan yang melindungi mereka, ternyata,
Bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah.
Bagaimana ini?
Situasi ini telah membuat sebagian kecil manusia Indonesia yang kepribadiannya jadi berbelah-bagi, tak sekata tak serasi antara bagian badan kanan dan kiri, berbeda pula fungsi antara tubuh yang kanan dengan yang kiri, sebuah konstatasi proses genetika yang layak diamati :
Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi
MOU (Memorandum of Understanding)
Dan MUO (Mark Up Operation)
Tangan kanannya membuat yayasan beasiswa,
Asrama yatim piatu dan sekolahan.
Kaki kiri jamaah ini melakukan studi banding pemerasan
Dan mengais-ngais upeti ke sana ke mari
Kaki kanannya bersedekah, pergi umrah, dan naik haji.
Otak kirinya merancang prosentase komisi pembelian,
Pembobolan bank dan pemotongan anggaran,
Otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha,
Dan memohon ampunan Tuhan
Betapa bingungnya kita menghadapi keadaan edan-edanan, amburadul, bergelemakpeak, kusut, carut marut, chaotic, sesak nafas, in fausta, dihadapkan pada posisi akut al-manzilab baik al-manzilatain, menentukan posisi di antara dua posisi ini, menghindari kefasikan. Betapa berat, alangkah musyakkat. Apa yang mesti dibuat?
Bagaimana caranya melawan malling begini
Yang bergotong royong bersama-sama mencuri
Dengan lirik holopis kuntul baris bersemangat bernyanyi
Barisannya kukuh seperti benteng kraton,
Tak mempan dihantam gempa dan tsunami bandang,
Malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang undang-undang,
Penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi bergantian.
Bagaimana caranya memroses hukum
Malling yang jumlahnya ratusan ribu, bahkan mungkin sejuta
Cukup membentuk sebuah negara mini,
Meliputi mereka yang pegang kendali perintah,
Eksekutif, legislatif, yudikatif dan dunia bisnis
Yang pegang pestol dan mengendalikan meriam,
Yang berjas dan berdasi,
Bagaimana caranya?
Mau diperiksa dan diusut secara hukum?
Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan?
Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman?
Hakim dan jaksa yang steril bersih dari penyuapan?
Percuma? Buang tenaga?
Tetapi harus tetap dijalankan
Seratus tahun pengadilan, setiap hari 12 jam dijadwalkan
Insya Allah akan lumayan, walau tak tuntas terselesaikan
Dua puluh presiden kita turun dan kita naikkan
Masalah ruwet kusut ini mungkin tak habis teruraikan
Tetapi harus tetap dijalankan.
Menoleh balik ke beberapa dasawarsa ke belakang, maka akan tampak bahwa betapa berjalin-berkelindannya jaringan kekacauan yang membelit tubuh bangsa, mencekik leher kita, menindas nafas semua :
Kita selama ini sudah terperangkap, terjerebab, terikat, terjerat,
Dalam sistem yang kita sendiri buat,
Sistem yang ruwet, kusut, keriting, dan berbelit sangat,
Yang dari padanya, rakyat tidak dapat manfaat.
Dan karena kita semua terlibat,
Merubahnya seperti kita tak lagi dapat.
Kita saksikan betapa sukarnya kerja yang jadi beban Komite Pemberantasan Korupsi. Bagi kita sebagai bangsa telah sangat hayati beratnya cobaan ini. Dan kita meratap : ”Maadza arada Llaahu bi badza matsala?” Apakah gerangan yang sebenarnya Dikau kehendaki dari ini umpama :
Jadi, saudaraku, bagaimana caranya? Kita harus membujuk mereka.
Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk.
Agar bersedia mengembalikan jarahan yang bertahun-tahun
Dan turun temurun sudah mereka kumpulkan
Kita doakan Allah membuka hati mereka
Terutama karena terbanyak dari mereka orang yang shalat juga,
Orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga,
Orang yang melakukan kebaktian di gereja, pergi ke pura dan vihara juga,
Kita bujuk baik-baik, dan kita doakan mereka,
Agar bersedia kepada rakyat mengembalikan jarahan mereka.
Kerjasama PP Muhammadiyah dan PB Nahdhatul Ulama dalam memberantas penyakit masyarakat ini, bersama dengan LSM-LSM lain dan seluruh kelompok bangsa yang masih bersemangat, harus kita dukung sepenuh tenaga, walau bagaimana pun mendung dan pesimisnya cuaca hari ini. Janganlah sampai terjadi hal berikut ini :
Celakanya, jika di antara jamaah malling itu ada keluarga kita
Ada hubungan darah atau teman sekolah,
Maka kita cenderung tutup mata
Tak sampai hati menegurnya
Celakanya, bila di antara jamaah malling itu
Ada orang partai kita, orang seagama atau sedaerah,
Kita cenderung menutup-nutupi fakta,
Hukumnya lalu dimakruh-makruhkan,
Dan diam-diam berharap semoga kita
Mendapatkan cipratan harta
Tanpa ketahuan siapa-siapa
Menghadapi masalah ringannya banyak orang mengambil benda yang bukan haknya ini, yang mengubur etika dan makin membudaya, saya ingin mengutip gagasan almarhum Kuntowijoyo tentang etika profetik yang bersumber dari Al Quran, 3:110, Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, dan beriman kepada Allah
Setelah menyatakan keterlibatan manusia dalam sejarah (ukhrijat linnaas) selanjutnya ayat itu berisi tiga hal, yaitu :
’amar ma’ruf (menyuruh kebaikan, humanisasi)
Nahi munkar (melawan kemunkaran, liberasi)
Tu’minu billaah (beriman pada Tuhan, transedensi)
Etika profetik yang berisi tiga hal, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi itu, menjadi pelayan bagi seluruh umat manusia, rahmatan lil ’aalamiin. Liberalisme akan memilih humanisasi, Marxisme liberasi, dan kebanyakan agama transendensi. Etika Profetik menginginkan ketiga-tiganya. Masalah-masalah kemasyarakatan kebudayaan kita hadapi dengan Etika Profetik ini.
23 April 2009
Aliran Sastra
Dasar pemikiran aliran ini ialah ingin menggambarkan kenyataan hidup dengan penuh keindahan tanpa cela. Jika yang dilukiskan itu kebahagiaan, maka kebahagiaan iyu perlu sempurna tiada tara. Sebaliknya jika yang dilukiskan kesedihan, maka pengarang ingin agar air mata terkuras. Sebab itu aliran romantic sering dikaitkan dengan sifat sentimental atau cengeng.
Dalam puisi moderen, penyair-penyair yang dapat dikategorikan sebagai penyair romantik, misalnya : MUHAMMAD YAMIN, AMIR HAMZAH, JE.TATENGKENG (dari Angkatan Pujangga Baru), RAMADHAN KH. KIRDJOMULJO dan RENDRA (dari periode 1953-1961), TOTO SUDARTO BACHTIAR (Gadis Peminta-minta), KIRDJOMULJO (Romance Perjalanan)
Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu, karya Amir Hamzah, pada hakekatnya adalah rekaman kedukaan penyair setelah patah hati dengan kekasihnya, Lilik Sundari.
PRIANGAN SI JELITA
(Chairil Anwar – 1965)
Seruling berkawan pantun,
Tangiskan derita orang priangan,
Selendang merah, merah darah
Menurun di Cikapundung
Bandung, dasar di danau
Lari bertumpuk di bukit-bukit
Seruling menyendiri di tepi-tepi
tangiskan keris hilang di sumur
Melati putih, putih hati
Hilang kekasih dikata gugur
Bandung, dasar di danau
Derita memantul di kulit-kulit
Kumpulan puisi-puisi cinta karya Rendra yang berjudul “Romansa” dan “Kakawin Kawin” juga merupakan jenis aliran Romantik, berisi surat cinta, masa pacaran, dan perkawinan di gereja. Kekaguman kepada Dik Narti yang menjadi seriosa (putrid duyung dengan suara merdu lembut bagai angina laut) digambarkan dengan sangat plastis.
SURAT CINTA
Kutulis surat ini
Kala hujan gerimis
Bangai bunyi tambur mainan
Anak-anak peri dunia yang gaib
Dan angina mendesah
Mengeluh dan mendesah
Wahai, dik Narti!
Aku cinta padamu!
Kutulis surat ini
Kala langit menangis
Dan dua ekor belibis
Bercintaan di dalam kolam
Bagai dua anak nakal
Jenaka dan manis
Mengibaskan ekor
Serta menggetarkan bulu-bulunya
Wahai, dik Narti!
Kupinang kau menjadi istriku!
Kaki-kaki hujan yang runcing
Menyentuh ujungnya di bumi
Kaki-kai cinta yang tegas
Bagai logam berat gemerlapan
Menembus ke muka
Dan tak kan kunjung diundurkan
………………………………..
Engkau adalah putrid duyung
Tawananku
Putri duyung dengan
Suara merdu lembut
Bagai angina laut,
Mendeahlah bagiku!
Angin mendesah
Selalu mendesah
Dengan ratapnya yang merdu
Engkau adalah putrid duyung
Tergolek lemas
Mengejap-ngejapkan matanya yang indah
Dalam jaringku
Wahai, putrid duyung
Aku menjaringmu
Aku melamarmu
Kutulis surat ini
Kala hujan gerimis
Kerna langit
Gadis manja dan manis
Menangis minta mainan
Dua anak lelaki nakal
Bersendau gurau dalam selokan
………………………………….
(Empat Kumpulan Sajak, 1961)
Rendra, dalam “Ballada Orang-orang Tercinta” mengisahkan perampok Atmo Karpo, gadis Anita yang kesepian, orang tua tersia yang bernama Kasan dan Patima, gadis desa malang yang gila karena difitnah yang bernama Sumilah, juga tentang Yesus Kristus. Subagio Sastrowardoyo menyatakan bahwa BOT merupakan saduran dari puisi-puisi Lorca.
2. ALIRAN REALISME
Aliran realisme menggambarkan segala sesuatu secara realistis, apa adanya. Dalam penggambaran secara apa adanya itu, batas-batas kepantasan, tabu, dan hal yang tidak sopan masih diperhatikan. Realitas kehidupan yang tidak pantas digambarkan, yang melanggar tabu, dan yang tidak sopan, tidak ikut digambarkan oleh pengarang.
Sutan Takdir Alisyahbana merupakan tokoh pemula aliran realisme. “Menuju Laut” karya STA, mengajak kita berorientasi lain tentang laut. Kita menghadapi laut yang penuh dinamika. Laut dengan gelombang menderai tidak bias dikatakan sebagai laut yang tenang tiada berombak.
Penyair Angkatan 45 yang beraliran Realisme : Asrul Sani, Rivai Apin, Sitor Situmorang, Subagio Sastrowardojo, Chairil Anwar.
DOA
(Kepada Pemeluk Teguh)
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMU
Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelas sunyi
Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk
Tuhanku
Aku menggembara di negeri asing
Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bias berpaling
/kerdip lilin di kelam sunyi/ sesuatu yang sangat berarti
/aku mengembara di negeri asing/ pengakuan sang penyair akan dosa-dosanya, sehingga ia menjadi orang asing bagi dirinya sendiri.
/dipintuMu aku mengetuk, aku tidak bias berpaling/ tekad penyair yang menyadari bahwa jalan Tuhanlah yang menjadi pilihannya, ia tidak akan berpaling lagi, apa pun yang terjadi
I S A
(Kepada Nasrani Sejati)
Itu tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
Rubuh
Patah
Mendampat Tanya : aku salah?
Kulihat Tubuh mengucur darah
Aku berkaca dalam darah
Terbayang terang di mata masa
Bertukar rupa ini segera
Mengatup luka
Itu tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah
(12 November 1943, Chairil Anwar)
3. ALIRAN REALISME SOSIAL
Kenyataan yang digambarkan aliran realisme social adalah kenyataan yang dialami oleh golongan masyarakat yang menderita, yakni buruh dan tani. Penggambaran kenyataan itu dimaksudkan untuk membangkitkan pertentangan kelas, yakni bangkitnya kaum buruh dan tani untuk melawan apa yang oleh golongan komunis sebagai kaum borjuis atau kapitalis. Yang dipentingkan dalam realisme social ialah kenyataan hidup masyarakat golongan revolusioner, suatu golongan yang berpihak pada buruh dan tani.
Aliran realisme social mengalami perkembangan pesat antara tahun 1962 sampai tahun 1965, yakni di saat LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sangat berkuasa dalam bidang kebudayaan dan kesenian di Indonesia.
Kawan Separtai Bekerja
Kau massa pekerja Indonesia
Kau mati di laut menangkap ikan
Kau mati menebang kayu di tengah hutan
Kau mati di tambang-tambang
Kau mati di pabrik digilas mesin
Kau mati menyadap karet
Kau mati mengangkut beban
Kau mati di lading-ladang
Kau mati di kolong jembatan
Kau mati lapar di tepi pasir
Di mana saja kau mati sebagai kuli
Di mana saja kau mati terkapar menambah lapar
Di setiap tapak tanah peluh dan darah
Kau curahkan sebagai pahlawan.
Hr.Bandaharo, 1964.
Kemis Pagi
Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan meterai kerajaan
Dengan suara lantang memperatasnamakan
Kawula dukana yang berpuluh juta
Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung di tiang Keadilan
Penyebar bias fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya
Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Membeli benda-benda tanpa harga di manca Negara
Dan memperoleh uang emas beratus juta
Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negeri
Merekalah pengatur jina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita;
Hari ini kita tangkap tangan-tangan kebatilan
Kebanyakan anak-anak muda berumur belasan
Telah kita naiki gedung-gedung itu
Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya
Seorang ketika digiring, tersedu
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya
Dan berjalan perlahan dengan lemahnya
Taufik Ismail. 1966
4. ALIRAN EKSPRESIONISME
Penyair ekspresionisme tidak mengungkapkan kenyataan secara objektif, namun secara subjektif. Yang diekspresikan adalah gelora kalbunya, kehendak batinnya. Puisinya benar-benar ekspresi jiwa, creation, bukan mimesis.
Sajak ekspresionistis tidak menggambarkan alam atau kenyataan, juga bukan penggambaran kesan terhadap alam atau kenyataan, tetapi cetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “Aku” karya Chairil Anwar.
Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bias kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil Anwar. 1946.
Surat dari Ibu
Pergi ke dunia luas, anakku saying
Pergi ke hidup bebas!
Selama angina masih angina buritan
Dan matahari pagi menyinar daun-daun
Dalam rimba dan padang hijau
Pergi ke laut lepas, anakku saying
Pergi kea lam bebas!
Selama hari belum petang
Dan warna senja belum kemerah-merahan
Menutup pintu waktu lampau
Jika baying telah pudar
Dan elang laut pulang ke sarang
Angina bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
Dan nahkoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padaku!
Kembali pulang, anakku saying
Kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah merapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari”
Asrul Sani. 1951
Dengan sangat bijaksana, Asrul Sani memberikan teladan bagi ibu-ibu agar memberikan kebebasan kepada putra-putrinya untuk mencari pengalaman seluas-luasnya, pergi ke dunia luas, ke laut lepas, kea lam bebas, selagi mereka masih muda. Dan membiarkan anak mereka tidak pulang sebelum mereka sukses dalam pengembaraannya.
5. ALIRAN IMPRESIONISME
Impresionisme merupakan perkembangan dari realisme. Kenyataan dalam impresionisme menimbulkan kesa-kesan dalam diri penyair. Apa yang dikemukakan dalam sajak adalah kesan-kesan dalam diri penyair setelah menghayati kenyataan hidup itu. Adapun objek kenyataan itu dapat berupa manusia, peristiwa, benda dan sebagainya.
Contoh sajak yang bersifat impresionisme : “CANDI MENDUT” SYIWA NATARAJA”, “TERATAI” (Sanusi Pane. “CILIWUNG YANG MANIS”, “RUMAH DI BELAKANG RUMAH TUAN SURYO”, (Rendra). “SARANGAN”, “TAWANGMANGU”, “MADURA’ (Abdul Hadi W.M.). “BUNGLON”, “MADRASAH MUHAMMADIYAH” (Mahatmanto)
Perempuan-perempuan Perkasa
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta
Dari manakah mereka
Ke stasiun kereta mereka dating dari bukit-bukit desa
Sebelum peluit kereta pagi terjaga
Sebelum hari bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta
Ke manakah mereka
Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota
Mereka hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta
Siapakah mereka
Akar-akar melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Hartoyo Andangjaya. 1963.
Puisi tersebut menceritakan tentang perempuan-perempuan yang berjuang keras untuk menyambung hidup dengan jalan berdagang hasil bumi dari Walikukun ke Solo menjelang pukul 4 pagi mereka sudah menunggu kereta pagi Madiun-Solo untuk menjual hasil dagangannya, dan mereka baru pulang di sore hari.
Teratai
Kepada Ki Hajar Dewantara
Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai
Tiada terlihat orang yang lalu
Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun berseri, Laksmi mengarang
Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia
Teruslah, o, Teratai bahagia
Berseri di kebun Indonesia
Biarkan sedikit penjaga taman
Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat
Engkau turut menjaga jaman
Sanusi Pane. 1957.
6. ALIRAN IMAJIS
Menurut kaum imajis, kenyataan harus dilukiskan dalam imaji visual yang jernih dan jelas. Kata-kata dipilih secara cermat dan efisien. . Bahasa yang dipilih adalah bahasa sehari-hari dengan ritme yang tidak mengikat. Di samping mengungkapkan gagasan penyair, kata-kata itu mendukung imaji penyair yang hendak diungkapkan. Puisi kaum i8majis sering mirip prosa.
Tokoh Imaji : Sapardi Djoko Damono (Kumpulan puisi DUKAMU ABADI, MATA PISAU, PERAHU KERTAS. Tokoh muda yang lain : Adri Darmadji, BY. Tand, Beni Setia, Hetu Emka.
Peristiwa Pagi Tadi
Pagi tadi seorang sopir oplet becerita kepada tukang warung
Tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang
Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang
Sahabutmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur
Aspal, lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan
Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang
Terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu
Diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam
Sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.
Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.
Sapardi Djoko Damono. 1983
Dalam beberapa karyanya, Rendra juga mampu menjadi imaji : “BALADA TERBUNUHNYA ATMO KARPO”, “BALADA SUMILAH”, “BALADA ANITA”, “ADA TILGRAM TIBA SENJA”, “KAKAWIN KAWIN”
Apa Hendak Kalian Kata
Di Hari Penuh Bendera
(Neno Warisman)
Ini hari penuh bendera
Di mana-mana di rumah besar kita ini, kalau bisa setiap jengkal tanah dicagaki bendera-bendera.
Bendera-bendera yang saling berkata satu sama lainnya, "Hai mari kita lihat, siapa yang bakal jadi pemenang!"
Hai kau siapa? Pengikutmu tidak jelas. Ah, kau ini masa lalu dan sudah ketahuan banyak koreng di jahitanmu, tau!
Kau ini masih bau kencur kok, sudah sok tau sih? Apalagi kau! Apa andalanmu, hah? Cuma segelintir orang yang merasa pintar dan bisa mengubah keadaan dengan kepintaran!
ngomong deh, kucing belang, dan seterusnya ..."
Para bendera bergerai-gerai kainnya disapu angin dan ditingkahi suara bising motor para pengendara di jalan raya, tetapi mereka terus saja berselisih paham tentang siapa yang bakal jadi pemenang.
Para bendera kebanyakan menjadi amat arogan dengan bentuk logo dan warna yang ditorehkan oleh para pengikutnya dan yang sering kali juga untuk sang bendera terciprat amuk dan darah para pendukungnya yang marah. Pernah begitu terjadi, dan entah akan terjadi lagi atau tidak.
Semoga saja ...
Semoga yang kelak jadi pemimpin rakyat atau negeri, tidak menjadi sewenang-wenang, tidak suka memakan saudara sendiri, peduli pada saudarnya, sebagain besar tindakannya tidak merusak dan merugikan alam dan bumi, akabbira mujrimiin ...
Semoga kelak para pemimpin negeri, mereka menjadi pemimpin yang suka melindungi dan mengedepankan kepentingan rakyat dari kepentingan sendiri ... karena mereka bahagia. Mereka suka melihat orang lain bahagia, mereka tidak suka orang lain celaka. Mereka akan bagi kekayaan negeri dengan adil merata, hingga tanah, laut dan udara dikelola dengan jujur dan amanah menjadi masyarakat yang bahagia.
Takut terlambat, takut dicela
Takut tak berseragam dan takut banyak lagi takut dan ancaman yang dirasa ...
Di hari penuh bendera ... .
Banyak yang ingin menang mengatasnamakan apa saja, juga pendidikan untuk mencapai sejahtera
Di hari penuh bendera, siapa yang benar-benar memikirkan mereka ... anak-anak kita?
Tentang Taufik Ismail-4
Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
Penawar musim kemarau dan tangkal bahaya banjir
Tentu bapa sudah melihat gambarnya di koran kota
Tatkala semua orang bersedih sekadarnya
Dari kakilangit ke kakilangit air membusa
Dari tahun ke tahun ia datang melanda
Sejak dari tumit, ke paha lalu lewat kepala
Menyeret semua
Bila air surut tinggalah angin menudungi kami
Di atas langit dan di bawah lumpur di kaki
Kelepak podang di pohon randu
Bila tanggul pecah tinggalah runtuhan lagi
Sawah retak-retak berebahan tangkai padi
Nyanyi katak bertalu-talu
Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
Tidak tugu atau tempat main bola
Air mancur warna-warni
Kirimlah kapur dan semen. Insinyur ahli
Lupakan tersianya sedekah berjuta-juta
Yang tak sampai kepada kami
Bertahun-tahun kita merdeka, bapa
Yang kami minta hanyalah
sebuah bendungan saja
Kabulkanlah kiranya
(Benteng, Taufik Ismail)
Kita Adalah Pemilik Syah Republik Ini
Tidak ada lagi pilihan, Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur
Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran :
"Duli Tuanku?"
Tidak ada lagi pilihan. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahan hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara
Tidak ada lagi pilihan. Kita harus
Berjalan terus
Tirani, Taufik Ismail)
08 Januari 2009
LASKAR PELANGI
Laskar pelangi merupakan kisah dari 10 anak yang memiliki semangat dan perjuangan untuk memperoleh pendidikan pendidikan. Meskipun di daerah pedalaman Belitong pendidikan adalah suatu hal yang mahal namun, tak menyurutkan semangat Lintang,Sahara,A Kiong,Trapani,Ikal,Mahar,Syahdan,Kucai dan Harun untuk tetap belajar. Meski hanya di sekolah tua Muhammadiyah yang bangunannya bisa dikatakan lebih mirip dengan kandang. Namun, siapa sangka jika sekolah yang tiang-tiang penyangganya sudah rapuh dimakan usia, gentingnya sudah banyak yang lepas, mampu melahirkan orang-orang yang berjiwa besar dan pantang menyerah.
Ditangan Bu Mus dan Pak Harfan ilmu pengetahuan menjadi makanan yang benar-benar digemari oleh kesembilan anggota laskar pelangi. Setiap anggota laskar pelangi memiliki citra masing-masing. Ikal dan Sahara sering berlomba untuk mendapatkan peringkat dua dikelas. Mengapa bukan peringkat pertama? Karena Lintang, manusia kecil dengan rambut keriting merah, berasal dari kampung pedalaman nelayan yang sangat gembira ketika pertama kali masuk sekolah, pertama kali memegang pensil, meski itu pensil yang salah. Dia mendapatkan anugerah yang amat besar dari Tuhan Yang Maha Esa, bahwa dia memiliki otak nebula yang mampu menyibak rahasia hukum-hukum alam dalam Fisika dan Matematika, meski ia baru duduk di Sekolah Dasar.
Lintang inilah yang kemudian mampu mengangkat nama SD Muhammadiyah dengan keberhasilannya menjadi juara cerdas cermat tingkat kabupaten yang sebelumnya selalu dimenangkan oleh sekolah PN. Tetapi sangat disayangkan, kelebihan Lintang yang sedemikian luar biasa itu tak mampu terus bersinar karena faktor yang memang sudah sering terjadi dikalangan masyarakat Belitong yang sebagian besar adalah orang-orang miskin. Bukan hanya Lintang yang mampu membuat sekolah Muhammadiyah menjadi terangkat derajatnya, tapi juga Mahar sang seniman terbaik di kelas.
Walikota pada waktu melihat pementasan karnaval sangat terpesona dengan konsep ala Afrika dari kelompok itu. Mereka juga berhasil mengalahkan sekolah PN yang menjadi juara bertahan. Mahar bertemu dengan Flo, anak sekolah PN yang sifatnya seperti anak laki-laki. Flo kemudian masuk kedalam anggota laskar pelangi karena dia sudah mengundurkan diri dari sekolah PN dan memilih sekolah Muhammadiyah yang sudah reyot. Di sini dia merasa cocok dengan Mahar yang juga penggemar mistik hingga mereka berdua membuat suatu perkumpulan orang-orang yang menyukai dunia alam gaib. Sungguh cerita yang menarik….
Apresiasi novel
Judul : Laskar Pelangi
Tema : Pendidikan
Alur
Maju
Tahun ini Pak Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh.
Hari ini dia meraja disini-di majelis kecerdasan yang amat terhormat ini.
Mundur
Pikiranku melayang ke suatu hari bertahun-tahun yang lalu ketika
sang bunga pilea ini membawa pensil dan buku yang keliru, ketika
ia beringsut-ingsut naik sepeda besar 80 km setiap hari untuk
sekolah, ketika suatu hari ia menempuh jarak sejauh itu hanya
untuk menyanyikan lagu Padamu Negeri
Penokohan dan perwatakan
Ikal (Cowok yang berambut keriting, suka mengkhayal, baik hati, ingin selalu menjadi peringkat dua), Sahara (Satu-satunya cewek yang ada di dalam anggota laskar pelangi, temperamental (apalagi dengan Trapani), rival Ikal dalam memperebutkan peringkat dua), Lintang (Cowok kurus, dari pedalaman desa nelayan, berambut keriting merah, sangat cerdas, tapi tak beruntung) Trapani (Cowok paling cakep diantara teman-temannya, tapi juga paling manja kepada ibunya), Mahar (Cowok yang paling aneh, daya imajinasi yang terlalu tinggi tapi nilai kesenian paling bagus, suka dengan hal-hal yang berbau mistis dan alam dunia gaib, tak logis dan sering diremehkan oleh teman-temannya), Kucai (Cowok yang sok tau, ketua kelas, tapi menyenangkan), Borek (Suka usil), Syahdan (Pengikut setia Ikal, paling senang bila disuruh pergi membeli kapur di pasar yang baunya sungguh menyengat), A Kiong (Cowok yang paling percaya terhadap cerita-cerita tahayul Mahar, dan selalu setia menjadi pengikut Mahar), Harun (Cowok yang bertubuh kurus, tinggi, tapi jalannya terseok-seok membentuk huruf x, punya penyakit keterbelakangan mental), Flo (Cewek yang berasal dari sekolah PN, tergila-gila dengan Mahar, akhirnya Sahara tak lagi menjadi satu-satunya cewek didalam anggota laskar pelangi, berperilaku seperti seorang laki-laki, dan juga suka dengan dunia mistis), Bu Mus (Guru yang paling baik, rendah hati, dan sabar), Pak Harfan (Kepala sekolah yang baik)
Setting Tempat
· Sekolah Muhammadiyah
Sekolah Muhammadiyah tak pernah dikunjungi oleh pejabat, penjual kaligrafi, pengawas
· Di dalam kelas
Di dalam kelas kami tidak terdapat tempelan poster operasi kali-kalian seperti umumnya
terdapat di kelas-kelas sekolah dasar.
· Sekolah PN
Sekolah-sekolah PN Timah, yaitu TK, SD, dan SMP PN berada dalam kawasan Gedong.
· Di dalam kelas sekolah PN
Ruang kelas dicat warna –warni dengan tempelan gambar kartun yang edukatif, poster operasi
· Diatas dahan Fillicium
Makhluk brutal ini memanjati dahan-dahan fillicium, bersorak-sorai, bergelantungan
· Pasar
Pasar ini sengaja ditempatkan di tepi sungai dengan maksud limbahnya, termasuk limbah
· Di depan podium
Sebagai puncak atraksi di depan podium mereka membawakan Concerto for Trumpet and
· Pulau Lanun
Kunjungan ke Pulau Lanun untuk menjumpai Tuk merupakan ekspedisi paling penting dan
· Risau
Maka tidak seperti suasana di SD lain yang penuh dengan kegembiraan ketika menerima
· Sangat mencekam
“Gua itu seperti tak berujung…,” Mahar bercerita dengan penuh penghayatan sehingga kami
· Menegangkan
Menegangkan sekali. Kami semakin merapat, Sahara menggigit jarinya, A Kiong berkali-kali
· Kegembiraan
Kami adalah sekolah kampong pertama yang menjuarai perlombaan ini, dan dengan sebuah
· Tegang
Suasana kelas menjadi tegang. Kami harap Mahar segera minta maaf dan menyatakan
· Sore hari
Sore ini, setelah hujan lebat sepanjang hari, terbentang pelangi sempurna, setengah lingkaran
· Pagi hari
Pagi itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas.
Amanat
Tuntutlah ilmu setinggi langit. Gapai cita-cita setinggi angkasa.
Sekolahlah dengan tekun selagi kesempatan itu masih ada.
02 Januari 2009
Tentang A. Mustofa Bisri - 1
(A. Mustofa Bisri)
Banyak yang tinggal di gedung beratap beton
Menimbun rongsokan berton-ton
Banyak yang tinggal di emper-emper sempit dipeluk langit
Menjumputi remah-remah hidup yang pahit
Banyak yang tinggal di tenda-tenda
Menunggu kemelut reda
Aku tinggal di awang-awang
Ah, hanya bisa nyawang
(Rembang, November 2006)
TENTANG DUA ORANG KAYA DAN MISKIN
(A. Mustofa Bisri)
Tiba-tiba oleh satu dan lain hal orang kaya itu menjadi miskin
Orang-orang yang semula merubungnya bagai lalat pun berhamburan menghindar membiarkannya
Sendirian mencicipi lapar dan derita yang selama ini tak pernah menghampirinya
Lama tak ada yang menghiraukannya tak ada yang peduli ia hidup atau mati
Hingga akhirnya terlupakan sama sekali
Lalu kesendiriannya menggiring dirinya kepada-Nya yang selama ini ia abaikan
Dan kini satu-satunya yang memberikan kedamaian
Yang tak pernah ia rasakan sebelumnya
Ia pun bersyukur sesyukur-syukurnya karena merasa paling kaya di dunia
Tiba-tiba oleh satu dan lain hal orang miskin itu menjadi kaya raya
Orang-orang yang selama ini menghindarinya pun bagai laron menghambur mendekatinya ingin membantu menghabiskan remah-remah kenikmatan yang berceceran di sekitarnya
Lama dielu-elukan orang hingga ia merasa memang pantas dielu-elukan lalu dilupakannya semua
Yang pernah menjadi tambatan hatinya termasuk Dia yang pernah ia tangisi selama ini
Yang ia mintai kekuatan di saat-saat tak berdaya
Ia pun dibiarkan-Nya mencicipi nikmat-nikmat sesaat
Menunggunya ingat atau tersesat hingga sekarat
(Syawal 1427)
MATAHARI RINDU NABI
(A. Mustofa Bisri)
Matahari
Masih hilirmudik
Seperti dulu
Mengawali dan mengakhiri
Hari-hari
Namun kini semakin terik
Cahayanya masih
Mengingatkan wajahmu yang cantik
Panasnya mengingatkan semangatmu
Namun kini umat
Seperti tak merasakan lagi rahmatnya
Seperti melupakan rahmatmu
Panasnya mendidihkan kepala yang lelah
Mengobarkan khotbah-khotbah
Melayukan girah terhadap kaum lemah
Matahari panas merindukanmu
Mungkin lama mencari tak temu
Secercah pun senyummu
Bahkan di tempat-tempat kesukaanmu
Di tengah-tengah gerombolan orang-orang papa
Kau tak berjumpa
O, malangnya umat
Yang meninggalkan nabinya
Tak tahu membedakan antara kepintaran dan kebodohan
Karena semuanya menghalalkan kesalahan
Tak mampu memilih antara miskin dan kaya
Karena yang kaya tak berdaya
Yang miskin terpaksa
Di sini matahari semakin panas
Kebodohan semakin ganas
Kemiskinan semakin tak waras
Keserakahan menggurita
Kedtidakpedulian merata
Ketidakberdayaan semesta
Matahari
Sepertimu aku kepanasan sendiri
Merindukan nabi
(Syawal 1427)