27 Mei 2009

Anda Membaca Sastra?

Jika Anda membaca sebuah karangan ilmiah, kemudian Anda membaca pula sebuah cerpen atau sajak. Anda tentu akan mendapat kesan bahwa kedua bahasa yang dipakai berbeda ujudnya. Atau dengan lebih jelas dikatakan, yang pertama disebut ragam bahasa ilmiah dan yang kedua disebut ragam bahasa sastra.

Ragam bahasa ilmiah lebih banyak memperlihatkan unsur denotasi-nya. Maksud denotasi ialah unsur ragam bahasa yang memperlihatkan makna lugas dan objektif. Setiap kata langsung menyatakan hal, benda, atau situasi yang mengacu kepada makna harfiah dan terbatas. Contohnya kata kursi yang maknanya tempat duduk berkaki dan bersandaran, ini disebut makna denotatif. Tetapi kalau kata kursi itu dikaitkan dengan kedudukan atau kekuasaan, kita memperoleh makan konotatif. Di situ makna itu timbul berupa gagasan.

Contoh lain ialah kata putih yang berarti jernih dan benar, kelabu yang berarti menyedihkan atau mengecewakan (tragedi), hitam yang berarti kemelut atau kacau, dan merah yang berarti keberanian. Ungkapan ‘merah darahku, putih tulangku’ menunjukkan keberanian berdasarkan kebenaran.
Ragam bahasa ilmiah meniadakan sedapat mungkin pemakaian kata atau kalimat yang bernilai konotatif. Tidak boleh diartikan kata gelombang dengan makna perjuangan seperti dalam ungkapan gelombang penghidupan. Itu makna konotatif. Makna denotatifnya ialah ombak panjang yang bergulung-gulung di laut atau juga aliran getaran suara yang bergerak dalam radio. Contoh, “Radio amatir itu menyiarkan berita melalui gelombang 58”. Kalimat itu mempunyai makna denotatif.
Penggunaan unsur denotasi dan konotasi hendaklah tepat sesuai dengan tuntutan ragam bahasa. Jangan sampai dipakai berbalik.
Perhatikanlah kalimat di bawah ini: “Di bawah kelabu langit Desember kendaraan beringsut ke depan penuh keletihan setelah sekian lama layu dalam penantian terbukanya kemacetan”.
Kalimat di atas menunjukkan kendaraan bergerak ke depan dengan berangsur-angsur setelah tertahan menunggu kemacetan beberapa lama.
Di sini kata yang seharusnya mempunyai nilai denotatif diganti dengan kata yang bernilai konotatif. Kata beringsut seharusnya berangsur-angsur, kata layu dalam penantian seharusnya tertahan dalam menunggu kemacetan selesai.
Pilihan kata beringsut, keletihan, dan layu adalah pilihan kata dalam sastra yang maksudnya untuk lebih memberikan kesan yang mendalam.
Jadi di samping unsur konotasi, unsur diksi pun amat diperlukan bila kita menciptakan sebuah karya sastra dengan selalu memakai kata-kata secara tepat.
Dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud diksi atau pilihan kata ialah usaha kita untuk mengungkapkan gagasan, baik dalam tuturan atau tulisan yang dapat membantu menciptakan gaya dan nada sebagai karya sastra yang baik.

(Lukman Ali, dosen Fakultas Sastra UI, mantan kepala Pusat Bahasa)
Intisari, Agustus 2000, No.445, Th.XXXVII, Hal.158-159

Kata Asing Serapan

Banyak sekali kata asing serapan dalam bahasa Indonesia. Kata serapan itu hamper setiap hari bertambah karena kebutuhan kita akan kata-kata baru yang mendukung konsep baru pula. Kalau kita tidak rajin membuka kamus, kita tentu akan menemukan kesulitan untuk memahami kata-kata serapan itu.

Dewasa ini, sudah selayaknya Anda memiliki kamus bahasa asing maupun kamus bahasa Indonesia yang baik untuk melengkapi diri dalam memenuhi kebutuhan Anda. Untuk itu, tersedia dewasa ini dua kamus besar bahasa Indonesia yang baik yaitu pertama, Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka susunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan kedua, Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Pustaka Sinar Harapan susunan Badudu-Zain.

Kali ini kita akan berbicara tentang tiga buah kata asing serapan yaitu kata konspirasi, klarifikasi, dan primordial. Ketiga patah kata itu sering muncul dalam tuturan atau tulisan terutama menyangkut hal-hal yang sifatnya politis atau masalah lain yang timbul dalam masyarakat. Mari kita bicarakan ketiga kata itu satu per satu serta contoh pemakaiannya dalam kalimat.

Kata konspirasi ada dalam bahasa Inggris conspiracy, ada dalam bahasa Prancis conspiration, tetapi sesungguhnya kata itu berasal dari bahasa Latin conspiratio. Kata ini tergolong pada kata benda (nomina) yang berarti ‘komplotan’ atau ‘persekutuan rahasia’. Mari kita lihat contoh pemakaiannya.
Bahasa Inggris: The Government discovers the conspiracy in time. “Pemerintah menemukan komplotan itu tepat pada waktunya.”
Bahasa Indonesia: Penggerebekan perusahaan yang diduga mengoplos BBM di Makassar berbuntut kecurigaan. Ada konspirasi untuk menutupi kasusnya. (Forum, IX/3, 23-4-2000).
Mahathir dipanggil untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang disebut sebagai konspirasi politik untuk menjatuhkanAnwar Ibrahim. (Suara Pembaruan, 17-4-2000)

Kata klarifikasi ada dalam bahasa Inggris dan Prancis, namun rasanya kata ini berasal dari bahasa Latin clare, yang berarti ‘jelas atau terang terlihat oleh mata atau terdengar oleh telinga’. Dalam kamus kita, kata itu diartikan ‘penjelasan’ penjernihan’ atau ‘pengembalian kepada apa yang sebenarnya’. Jadi kalau ada hal yang kurang jelas, hal itu perlu dijernihkan lagi, kalau agak kabur atau samara-samar, perlu dijernihkan, dan agar menjadi jelas benar, perlu dikembalikan kepada pengertian awalnya yang sebenarnya. Contoh pemakaiannya dalam kalimat berikut: “Kantor Menneg LH akan minta klarifikasi Lumpur Singapura” (Suara pembaruan, 6/4 19-4-2000)
Sebagai kata benda (nomina) kata itu dapat dijadikan kata kerja (verba) dengan membubuhkan imbuhan meng-kan atau di-kan; mengklarifikasikan, diklarifikasikan. Misalnya: Masalah politik yang ruwet itu perlu diklarifikasikan lagi agar menjadi jelas, tidak samara-samar pengertiannya.

Kata primordial ada dalam bahasa Inggris, Belanda, dan Prancis. Ketiga bahasa itu memungutnya dari bahasa Latin primordium (primus dan ordion). Arti sebenarnya ‘asal’ atau yang bermula’. Dalam KBBI diartikan: (1) Bio termasuk dalambentuk atau tingkatan yang paling awal; (2) paling dasar. Mari kita lihat contoh pemakaiannya dalam kalimat, “Apabila kerusuhan dan konflik horizontal selalu disederhanakan menjadi sekedar konflik yang disebabkan oleh perbedaan cirri-ciri primordial, hal itu akan mendorong terjadinya ekskalasi konflik yang sangat cepat intensitasnya. (Kompas, 6/5, 15-5-2000)
Mereka bukan lagi menjadi acuan kepada yang di atas, melainkan lebih suka memakai symbol-simbol primodialistik untuk menunjukkan identitas barunya. Di sinilah baru berkembang primordialisme sempit. (Kompas, 6/5, 15-5-2000).
Yang paling sering kita temukan adalah perasaan senasib dari sekelompok orang atau adanya ikatan primordialistik (berasal dari satu daerah atau kelompok masyarakat/suku tertentu). (Sabda Bina Umat, “Galatik” Sept.Okt. 1999).

Mudah-mudahan dengan penjelasan singkat di atas menjadi jelas bagi Anda apa arti kata-kata serapan itu dan Anda dapat menggunakannya dalam kalimat secara tepat.

(Prof. Dr. J.S. Badudu)
Intisari, September 2000, No.446, Th.XXXVII, Hal.148-149

26 Mei 2009

Kata Kerja Bentuk Persona

Ada dua macam bentuk kata kerja dalam bahasa Indonesia yang perlu kita bahas. Yang dimaksud ialah kata kerja bentuk aktif dan kata kerja bentuk pasif. Ada tida macam bentuk kata kerja aktif yaitu yang berawalan me-, ber-, dan yang tanpa awalan. Bila kata-kata kerja bentuk itu digunakan sebagai predikat kalimat, maka jelas subjek kalimat itu aktif atau melakukan suatu pekerjaan atau kegiatan.
Contohnya :
Ali menulis surat. (berawalan me-)
Itik itu berenang di kolam. (berawalan ber-)
Anak-anak itu mandi di sungai. (tanpa awalan)
Kata kerja bentuk pasif yang pertama berawalan di-
Contohnya :
Surat itu dikirimkan Ali tadi.
Gerobok ditarik oleh lembu.
Sayur-sayuran dijual di pasar itu.

Pelaku pekerjaan untuk kata kerja bentuk di- adalah orang ketiga : Ali, lembu, dan penjual sayur. Dalam bahasa Indonesia, bila pelaku orang pertama dan orang kedua, bentuk kata kerjanya seperti itu. Kata kerja tidak diberi awalan dan di depannya ditempatkan pelaku (kata ganti orang).
Contohnya:
Surat itu saya kirimkan tadi.
Surat itu kami kirimkan tadi.
Surat itu engkau kirimkan tadi.
Surat itu kalian kirimkan kapan?
Bentuk-bentuk seperti itulah yang disebut bentuk persona karena persona mendahului kata kerja. Bentuk dikirimkan oleh saya, atau dikirimkan oleh kami, oleh engkau, oleh kalian, oleh Anda bukanlah bentuk baku. Ada juga digunakan orang, tetapi itu muncul karena pengaruh bahasa daerah, misalnya bahasa Sunda.

Bila pelaku orang pertama aku atau saya, orang kedua engkau bentuknya dapat dipersingkat menjadi ku dan kau dan dilekatkan pada kata kerjanya itu seperti awalan: kukirimkan, kaukirimkan. Bentuk ku- dan kau- itu disebut bentuk klitika. Dalam penulisan, tidak boleh dituliskan sebagai dua kata: ku kirimkan, kau kirimkan.

Sebenarnya yang ingin saya jelaskan di sini mengenai bentuk persona itu ialah selain cara menulisnya bila personanya disingkat adalah cara orang merapatkan kalimat. Merapatkan kalimat ialah menghilangkan salah satu fungsi yang sama dalam salah satu klausa pembentuk kalimat majemuk.
Contohnya: Adi menangkap ayam itu dan menyembelih ayam itu. Fungsi objek ayam itu disebutkan dua kali. Kalimat itu dapat dirapatkan menjadi: Ali menangkap, lalu menyembelih ayam itu. Objek ayam itu di belakang kata menangkap (predikat kalusa I) dapat saja dihilangkan.
Perhatikan contoh kalimat bentuk persona (pasif kedua) berikut ini:
- Ayam itu saya tangkap, lalu saya sembelih.
- Ayam itu kutangkap, lalu kusembelih.
Kalimat di atas biasa dirapatkan orang sebagai berikut:
- Ayam itu saya tangkap, lalu sembelih.
- Ayam itu kutangkap, lalu sembelih.
Perapatan kalimat bentuk persona seperti di atas menurut aturan bahasa tidak dibolehkan. Mengapa? Bentuk saya tangkap (kutangkap) dan saya sembelih (kusembelih) sudah merupakan satu kata walaupun ditulis terpisah sebagai dua kata. Dalam bentuk klitika dituliskan betul-betul sebagai sepatah kata. Itu sebabnya kata saya tidak boleh dihilangkan dari kata kerja itu.
Contoh lain:
Setelah pisau itu saya bersihkan dan saya asah, saya berikan kepada Ibu.
Jangan dijadikan:
Setelah pisau itu saya bersihkan dan asah, saya berikan kepada Ibu.
Contoh perapatan kalimat memenuhi syarat:
Kami mendengar letusan itu, ketika kami sedang makan. (sama subjek)
Kami mendengar letusan itu, ketika sedang makan (dirapatkan dengan menghilangkan subjek kami pada klausa kedua).

Kiranya keterangan di atas dapat menjadi petunjuk dalam merapatkan kalimat.


(J.S. Badudu)
Intisari, Juli 2000 No.444 Tahun XXXVII, Hal.138-139

25 Mei 2009

Tersangka, Terdakwa, Terpidana, Terhukum

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kita menemukan definisi-definisi berikut : terhukum artinya orang yang dihukum atau orang yang dijatuhi hukuman; terpidana artinya orang yang dikenai hukuman; tersangka artinya diduga, dicurigai atau tertuduh, terdakwa; terdakwa artinya orang yang didakwa (dituntut, dituduh) telah melakukan tindak pidana dan adanya cukup alasan untuk dilakukan pemeriksaan di muka persidangan.

Kata tersangka merupakan kata turunan dari kata sangka yang bermakna ‘duga atau curiga’ Kata duga dengan kata turunannya menduga, bermakna ‘menyangka’ . Kata mencurigai yang merupakan kata turunan dari kata curiga bermakna ‘kurang percaya atau sangsi terhadap kejujuran seseorang’.

Di pihak lain , kata terdakwa merupakan kata turunan dari kata dakwa yang bermakna ‘tuduhan, pengaduan atau tuntutan yang diajukan kepada hakim’. Kata tuduhan atau lebih tepatnya kata menuduh yang merupakan kata turunan dari kata tuduh berarti ‘menunjuk dan mengatakan bahwa seseorang melakukan perbuatan yang melanggar hukum; terdakwa’

Maka terlihat bahwa unsur menduga, mencurigai, menyangka terdapat pada kata tersangka. Pada kata terdakwa terdapat unsur menuduh dan mengajukan tuntutan kepada hakim. Jadi, dapat disimpulkan bahwa kedua kata tersebut tidak merupakan kata yang bersinonim. Jika kata mendakwa seseorang, kita yakin bahwa orang tersebut melakukan suatu pelanggaran. Untuk mendakwa seseorang, kita sudah harus membuktikan kesalahan yang dilakukannya.

Seseorang dikatakan tersangka jika kita mencurigai dia melakukan kesalahan. Sangkaan atau dugaan kita itu harus dibuktikan terlebih dahulu. Jika ternyata dugaan kita tidak terbukti, orang tersebut terbebas dari rasa curiga kita. Akan tetapi, jika dugaan kita terbukti, kita dapat mengajukan orang itu ke persidangan. Orang tersebut dapat ditahan oleh pihak yang berwajib. Sampai hari persidangan, baik sebagai tahanan rumah maupun sebagai tahanan di penjara. Dalam hal ini status orang itu dari tersangka berubah menjadi terdakwa.

Lalu, kapankah seseorang dikatakan terpidana atau terhukum? Kata terpidana merupakan kata turunan dari kata pidana yang bermakan kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi). Memidana berarti ‘menghukum seseorang karena melakukan tindak pidana’. Kata terpidana bermakna ‘dikenai hukuman; orang yang dikenai hukuman’. Jadi dalam kata terpidana terapat unsur dikenai hukuman. Kata dikenai berasal dari kata kena yang bermakna ‘tidak bebas dari’. Dalam hal ini , tentunya tidak bebas dari hukuman. Kata hukuman itu sendiri berarti ‘keputusan yang dijatuhkan oleh hakim’. Berdasarkan analisis ini, kata terpidana berarti ‘seseorang yang dijatuhi hukuman karena melakukan suatu tindak pidana (suatu kejahatan).

Kata terhukum bermakna ‘dihukum; orang yang dihukum atau orang yang dijatuhi hukuman’. Kata terhukum merupakan kata turunan dari kata hukum. Salah satu makna kata hukum adalah ‘keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan)’. Jadi, di dalam kata hukum terdapat unsur memutuskan yang bermakna ‘ menetapkan atau menentukan’. Kata menghukum bermakna ‘menetapkan hukuman untuk atau menjatuhkan hukuman kepada’.

Jika kita melihat analisis kata terpidana dan terhukum, kita dapat menyimpulkan bahwa terhukum dan terpidana merupakan dua kata yang bersinonim. Di dalam kata memidana terdapat unsur menghukum. Kata terpidana mengandung unsur dikenai hukuman dan kata terhukum mengandung unsur dijatuhi hukuman.

Sebagai penutup, marilah kita merangkum keempat istilah tersebut. Seseorang dikatakan tersangka jika ia diduga melakukan kesalahan. Jika dugaan kesalahan itu terbukti, ia menjadi terdakwa dan dia diajukan ke pengadilan untuk diadili. Dia akan menjadi terpidana atau terhukum, jika hakim memutuskan dia bersalah dan menghukumnya sesuai kejahatan yang dilakukannya.


(Sally Pattinasarany, M.A., Staf Pengajar FSUI)

Intisari, Juni 2000 No.443 Tahun XXXVII, Hal. 138-139

08 Mei 2009

Engau dan Kabut

aku tak melihatmu, hanya kabut dan gumpalan awan
yang bergelayut. udara dingin ini , ternyata menyimpan api
di tubuhmu. aku ingin segera menciummu, mambuat
gelinjang-gelinjangkecil saat bibirmu kukulum. aku tahu
akan mendapatkan rasa belerang dari bibirmu
tapi aku tak peduli. rasa laparku akan terpental jauh
sehingga tak perlu lagi aku menghamba dalam mimpi

tapi aku tak melihatmu. terlalu luas danau batur bagi tubuhmu
yang kecil dan terlalu berlebihan bagi hamparan embun
aku cuma butuh selembar daun untuk menyimpan air mata
kerinduan ina. sebab perdu dan cemara yang berdiri tegak
sama berada di dalam dingin yang menyiksa. kekasih api
yang beranjak dari hasratku, tak bias meruntuhkan kabut
yang membungkus bayangmu. betapa tebal dingin di sini!


Riwayat Penulis:
ENDANG SUPRIADI, lahir 1 Agustus 1960. mulai menulis puisi dan cerita pendek sejak 1983. tulisannya tersebar di Suara Pembaruan, Suara Karya Minggu, Swadesi, Bisnis Indonesia, Pikiran Rakyat, Horison, Kompas, Koran Tempo, dan lain-lain. Beberapa kali memenagkan lomba penulisan puisi, baik yang diadakan di daerah maupun di Jakarta. Tiga cerpennya di jadikan sinetron:”Lelaki Itu Bernama Oding” (1991), “Sosok Bertopeng” (1992), dan “Protes” (1993). Juga menulis scenario sinetron antara lain Langkah-langkah dan Jendela Rumah Tetangga. Kumpulan puisinya, Tontonan Dalam Jam (1996). Sejumlah puisinya juga dimuat dalam beberapa antologi: Cerita Dari Hutan Bakau (1994), Sembilan Penyair Menatap Publik (1994), Antologi Puisi Batu I, Antologi Puisi Batu II, Antologi Puisi Kebangkitan Nusantara I, Antologi Puisi Kebangkitan Nusantara II, Antologi Puisi Getar, Antologi Puisi Sahayun, Antologi Puisi Nuansa Hijau, Antologi Puisi Serayu, Mimbar Penyair Abad 21 (1996), Antologi Puisi Indonesia (1997), Resonansi Indonesia (2000), Datang Dari Masa Depan (2000), dan lain-lain.

Setelah Itu

kemudian waktu laju
kesunyian beranak-pinak, sejumput rumput tumbuh
di luas laut, betapa keterasingan sepanjang padang air

jarimu yang kesetian jarum kompas, memburu
punjuru arah mata rumah; kemana mesti singgah

keyakinanmu pada aroma pintu
mengingatkanku pada ibu, saat-
saat setiap sebelum mengucap salam
diberi restu wewangian
untuk menciptakan ketuk, bunyi paling khidmat
yang dapat kuhirup dalam-dalam
tapi selalu, di muka pintu, tak ada sesiapa
berdiri mirip siapa pun, apalagi ibu

hari berlari, tahun berduyun
menyimpan kematian sebagai kado kejutan
hadiah yang tak banyak dinantikan


Riwayat penulis:
RUDY RAMDANI,
Lahir di Purwakerta, 23 Juni 1982, alumnus jurusan pandidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS Uneversitas pendidikan Indonesia (UPI), Bandung. Mantan ketua umum Komunitas Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS). Puisi-puisinya dipublikasikan di media local dan nasional. Dimuat juga dalam beberapa antologi puisi, antara lain Reminisensi Pada Mata Bocah (ASAS,2001), Lalu Badailah (Ruh Sajak,2004), dan Roh: Kumpulan Puisi Penyair Jawa Barat-Bali (Bakupop, 2005).
Usai perang saudara ia mendapat berita dari kota kelahirannya, sebuah kota kecil di atas bukit. Berita itu disampaikan seorang tetangga yang kebetulan bertemu dengannya di sebuah reuni teman sedaerah di sebuah gudung pertemuan di Jakarta.

“Pergilah, jenguklah tanah kelahiranmu. Apakah engkau tidak rindu?
“Rindu sih, rindu. Tapi kerabat di di saja jarang berkirim surat padaku.”
“Mungkin mereka tidak mengetahui alamatmu, Martinus. Mungkin sekali. Peperangan telah memisahkan semua orang. Sebagian kawan-kawan kita telah mengungsi ke Halmahera pada waktu itu, dan tidak kembali. Sebagian lagi pergi ke Makasar, dan tidak pernah kembali. Apakah kau seperti mereka juga?”
Ia semakin tergugah. Telah lama ia ingin pulang. Sebelum perang saudara pecah, ayahnya yang dinas di ketentaraan kebetulan berada di Jakarta dan tidak diperkenankan kembali karena berita pemberontakansudah tercium oleh pemerintah pusat. Martinus dan ibunya serta adik-adiknya, mentusul ke Jakarta dan menitipkan rumah dan kebun-kebun cengkehnya kepada keluarga dekat. Beberapa bulan kemudian pertikaian erdarah pecah. Sejak itu, selama bertahun-tahun ia kehilangan kontak dengan kerabat-kerabat dekat,sampai saat terakhir, setelah pemberontakan dipadamkan, tidak ada kabar berita dari kampong halaman. Ayahnya sudah tidak dinas lagi. Ayah dan ibunya tidak pernah mendorongnya kembali ke tanah kelahiran, entah mengapa, ia sendiri tidak tahu. Setiap kali berbicara mengenai kampong halaman, ayah dan ibu bungkam. Wajah mereka menunjukkan suasana murung.
Tetangga itu sudah kembali ke Manado. Sebelumnya ia mengajak martinus untuk pulang versama-sama. Tetapi karena ada pekerjaan yang harus diselesaikannya di kantornya, ia katakana ia menyusul, entah tahun depan. Masa remajanya dihabiskan di kota pegunungan itu. Ia ingin bertemu dengan kawan-kawan remaja yang dahulu, inginmendaki gunung dan melihat puncak gunung berapi yang tinggi. Ia ingin memancing di rawa-rawa yang luas. Teringat akan bau cengkeh yang mekar bagai selimut gunung dari kejauhan. Ia ingin panjat pohon, untuk memuaskan rindu masa kanak yang dahulu. Udara pegunungan yang segar serasa merasuk ke dalam paru-paru saat mengingatnya.
Beberapa menit sebelum mandarat di lapangan udara, martinus masih menyaksikan gunung berapi yang hangus puda puncaknya. Belum lama berselang setelah “tidur” sekian puluh tahun, memuntahkan isi perutnya dan menutupi pepohonan dan kampong-kampung di bawahnya.
Dengan “taksi” ia menuju kota. Taksi yang diisi oleh banyak orang, sejenis angkutan di pulau jawa. Dalam waktu setengah jam ia sudah tiba di ibu kota sulawesi utara itu. Dan sejam kemudian ia melanjutkan perjalanan kea rah pegunungan. Bau udara pedesaan dan pegunungan kembali mengisi rongga paru-parunya, mengigatkan ia kepada masa remajanya yang sering bermain dibawah pohon cengkeh dan pohon kelapa. Ia merasa heran melihat tugu yang berdiri di setiap simpang jalan ke kota lain. Dalam hati ia berkata mengapa banyak tugu di setiap simpang menuju kota yang lain. Dulu tidak ada tugu-tugu semacam itu. Apakah ini benar-benar negeri seribu tugu seperti yang pernah dikatakan oleh seorang wartawan sehabis perang saudara? Semula ia tidak memperhatikan sindiran wartawan itu. Tetapi sekarang ia menyaksikan sendiri betapa tugu itu nyata dan masih ada di hamper semua pintu masuk kota pegunungan.
Menjelang petang ia tiba di tanah kelahirannya, sebuah kota kecil di pegunungan. Daun-daun pohon tampak memutih, mungkin debu dari letusan gunung berapi beberapa waktu yang lalu. Ia terkejut melihat terminal kendaraan yang berlubang-lubang, dan rumah-rumah yang setengah hangus di sana-sini. Dengan melangkah keluar dari terminal itu, ia melihat beberapa rumah baru terbuat dari tala, batu bata buatan sendiri, yang belum dilapisi dengan semen. Dimana-mana tampak pemandangan yang tidak lazim. Bangunan-bangunan setengah jadi, reruntuhan rumah yang terbengkalai. Pasar yang kumuh, kantor desa dan pos koramil yang berlubang-lubang bekas peluru. Ketika kepalanya ditegakkannya, memandang ke atas, ia menatap rumah sakit yang masih utuh di atas bukit.
“Hai, martin! Jadi juga kau datang?” sapa orang yang tiba-tiba menyentuh pundaknya.
“Hei,ruben. Kau bikin kaget saja!”
Dialah tetangganya yang bertemu dengannya di reuni di Jakarta tempo hari.
“Kau heran melihat kota kecil ini?” tanyanya.
“Ya, ben. Seperti asing bagiku. Mana rumahmu?”
“Mari, mampirlah,” kata ruben.
“Mengapa kota kecil ini jadi begini?” Tanya martinus sambil berjalan.
“Itulah,” sahut ruben, “kota kecil ini baru bangun dari reruntuhan. Ketika perang saudara dahulu, kawan-kawan bermarkasdi sini dan berjuang mati-matian mempertahankannya dari gempuran pusat. Ya, perang saudara itu begitu kejam. Pemuda-pemuda yang berjuang sampai titik darah terakhir digempur habis-habisan disini. Satu demi satu rumah runtuh dan kota kecil ini kemudian ditinggalkan pejuang yang sisa. Ketika pertikaian berdarah itu berakhir, kota ditemukan penghuninya sudah rata dengan tanah.”
Martinus menarik nafas dalam-dalam.
“Masuklah!” kata ruben.
Martinus terbangun dari renungannya. Entah kenangan apa yang menyelinap dalam benaknya melihat sekitarnya, sisa-sisa perang saudara.
“Rumahmu?” tanyanya.
Ruben mengangguk.
“Tidak seperti dahulu,” kata martinus. “semuanya sudah berubah.”
“Ya. Ketika panen cengkeh dahulu dengan harga yang lumayan, rumah ini dibangin kembali. Seandainya saja dulu. Asal dapat ditempati.”
“Tentunya kau beruntung. Yang lain yang saya liat masih tinggal kerangka dan reruntuhan.”
“Mereka yang punya belum kembali dari pengungsian. Entahlah mereka menetap di sana. Sebaiknya mereka kembali membangun kota kecil ini dan memulihkannya sebagai kota peristirahatan di gunung, seperti dahulu.”
“Martinus memandang ke sekitar rumah, tampak bangunan-bangunan setengah jadi. Di arah ke bawah, pada lereng gunung yang tigak begitu tajam, ada beberapa bangunan yang sudah jadi, dan di belakangnya, beberapa pohon kelapa yang gosong separuh, walaupun masih berdiri tegak. Ada juga rumah di sebelahnya yang gentingnya pecah-pacah.
“Kau ideali sekali,” kata martinus sambil masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi yang terbuat dari kayu.
“Tidak juga, martin. Pernah kucoba merantau ke daerah yang lain, tapi tidak berhasil. Aku kembali ke sini karena disini kurasa ada sesuatu yang dapat kulakukan, seperti dahulu pernah diakukan orangtuaku.”
“Dimana mereka kini?”
“Siapa?”
“Orang tuamu?”
Ruben tidak segera menjawab. Ia menatap ke dinding, tempat potret kedua orangtuanya yang tergantung di dinding, di samping potret seluruh anggota keluarga.
“Mereka sudah tiada, martin. Meninggal waktu perang dahulu……”
“Oh, aku tidak tahu.”
“Tidak apalah. Itu masa lalu. Juga sebagian saudara-saudara itu, kenal bukan? Susan tertembak ketika bertugas sebagai petugas medis; fredi tewas waktu bertempur di kota kecil ini…dan aku serta beberapa adikku sempat meloloskan diri…. Ah,sudahlah.”
“Aku turut bersedih,” kata martinus.
“Silvy, ini ada tamu dari Jakarta,” kata ruben.
“Seorang perempuan usia tiga puluh muncul dari kamar.
“ Iteriku, kenalkan.”
Martinus berdiri dan menyalaminya.
“Nanti kita menuju rumahmu yang dulu,” kata ruben, “istirahatlah dulu sejenak. Atau kalau mau bermalam si sinilah.”
Malam itu mertinus menginap dirumah ruben.
Pagi-pagi sekali., ia sudah terbangun. Tidak ada celoceh burung seperti dahulu. Matahari menyengat lewat jendela. Ingin sekali ia mengetahui keadaan rumahnya, tempat ia lahir, dibesarkan dan bermain-main.
Rubenmengajaknya keluar pagi itu. Dibawah terpaan sinar matahari yang keras, tapi hembusan angin pegunungan, membuat sengatannya tidak begitu tajam.
Setelah melewati daerah rawa-rawa, mereka sampai di sebuh ladang yang ditumbuhi oleh cengkeh yang kurang terawatt. Pohon-pohon cengkeh yang tinggi berbaris menutupi lading yang melengkung. Ditengah-tengahnya ada sebuah bangunan yang nyaris tidak beratap dan dindingnya bolong-bolong.
Martinus berhenti dan menyandarkan tubuhnya ke batang pohon cengkehyang besar, yang berdiri tegak. Ia memejamkan matanya. Barangkali membayangkan kembali masa dahulu, rumah yang indah diantara pepohonan cengkeh dan kelapa. Ayah dan ibu yang merawat kebun dengan baik dan cengkeh yang berbuah rendah. Tangkai-tangkai cengkeh yang sarat buah nyaris menyentuh tanah. Tapi kini cengkeh sudah tinggi, sukar dipanjat. Adakah keinginan yang dahulu, ketika berada dijakarta, ingin memanjat pohon cengkeh yang kini begitu tinggi?
Ruben mengguncang bahunya. “Heh, bangun dari lamunanmu! Lihatlah kenyataan ini! Lihat! Rumahmu yang masih utuh. Kau dapat memperbaikinya. Pohon cengkeh yang tinggi, kau dapat menggantinya dengan benih-benih yang baru. Ini bumi tuhan, yang memberikan kehidupan kepadamu! Lihat kenyataan ini! Ayo kita masuk ke dalam rumahmu!”
Ditariknya tangannya. Mereka berdua melangkah.
Martinus meneteskan air mata ketika ia melihat dapur yang hancur, kamar tidurnya yang bolong-bolong dindingnya. Lantainya yang berdebu dan atap yang hanya tinggal kerangka.
“Kau lihatlah, rumah ini menanti jamahan tanganmu. Lading ini menunggumu. Bangunlah kembali rumah dan ladangmu ini. Kalau bukan kau, siapa lagi yang harus mengurusnya?”
Martinus tidak bereaksi. Tampaknya ia masih terpukau oleh baying-bayang masa lampau daripada kenyataan masa kini. Ia keluar ke belakang dan melihat sumur yang dalam. Ia menjatuhkan sebutir batu bundar yang kecil dan mendengar decak air.
Ruben menarik tangannya sambil berkata,”Kau mau bertemu dengan teman-temanmu semaja remaja dahulu?”
“Ya,” jawab Martinus. “dimana mereka?”
“Kediaman mereka tidak jauh dari sini. Lima belas menit perjalanan. Ayolah!”
Keduanya berjalan menurun, kearah utara. Di balik pepohonan mereka melihat rumah yang dihuni. Beberapa orang menjemur cengkeh di halaman rumah sementara beberapa orang lagi meyusun karung di kolong rumah tinggal yang tinggi. Setelah itu mereka sampai disebuah tempat tanpa bangunan.
“Dimana mereka?” Tanya martinus.
“Disini! Lihatlah kebawah.”
“Nisan?”
“Ya. Bacalah nama-nama yang tertera disana.”
Martinus membaca satu demi satu nama di atas nisan itu. Nama, tanggal lahir, tanggal kematian: Rudi,Susan, Hengki, Titus, Franky, Julius, Turman, Bartomeus, Jonatan, George, Jimmi…
Martinus pusing. Ia tidak dapat meneruskan pembacanya. Nama-nama itu, wajah mereka terbayang di benaknya. Semuanya mati muda. Mereka yang baru mekar tapi luruh waktu muda. Bukan di makam pahlawan. Mereka mati dibumi tuhan. Mereka lahir, dibesarkan dan mati disini.
“Siapa yang harus meneruskan perjuangan mereka untuk membangun negeri ini, martinus?” Tanya ruben ketika mereka duduk di atas sebuah kayu yang tumbang sambil menatap ke kaki gunung. “Mereka sudah tiada, demi negeri ini. Demi kepentingan bangsa, ya demi dari sekian demi yang sering kita dengarkan dalam pidato para polotikus.”
Martinus tudak menjawab. Ruben yang berbicara perlahan, mengejitkannya. “Katakan pada ayahmu bahwa penduduk kota ini mengasihinya. Tidak lagi membencinya. Katakan padanya, bahwa mereka sudah melupakan masa lampau….”
Martinus tidak mengerti. Di dalam baying-bayang pikirannya terlintas wajah ayah yang murung, setiap kali berbicara mengenai tanah kelahirannya.
Ketika ia duduk kembali di dalam pesawat menuju Jakarta, ia menatap kebawah, melihat kepundan gunung berapi, dan menyaksikan kota telaga batu yang sedang mengeliat di antara reruntuhan, dan pohon cengkeh yang tua, merindukan peremajaan.



WILSON NADEAK

Lahir diporsea, Sumatra utara,5 desember 1942. Tahun 1965 ia lulus dari jurusan theologia perguruan tinggi advan,bandung dan tahun 1970 lulus dari jurusan inggris akademi bahasa asing,bandung.
Ia pernah menjadi redaktur pemuda advan(1961),mingguan sinar (1964),truna jaya,pemimpin redaksi atau penanggung jawab penerbitan Indonesia publishing house dibandung,pengajar di universitas padjajaran bandung.

Ia banyak menulis buku rohani karyanya : mutiara perempuan pantai (1968),
Ketika badai tertiup (1973)
Bayang-bayang keselamatan (1973)
Pengungsi-pengungsi dan cerita lainnya (1976)
Orang-orang merdeka (1977)
Bagaimana menjadi penulis yang sukses (1983)
Tentang sastra (1984)
Sekilas gambaran dunia sastra Indonesia (1984)
Wajah (1984)
Hari-hari dalam hidupku (1984)
Pengadilan cinta dan hati nurani (1985)
Ditepi sungai babilon (1985)
Pengajaran apresiasi puisi untuk sekolah lanjutan atas (1985)
365 halaman menuju sukses (1986)
Stasiun kereta suatu senja (1994)
Dan lain-lain.

Pertemuan di Taman Hening

Tamparan berkali-kali dari lelaki itu membuat tubuh Sih terhuyung-huyung. Perempuan itu jatuh terduduk di sudut kamar setelah pelipisnya terbentur ujung lemari kayu yang lancip. Darah menetes dari sana, juga dari bibirnya yang seakan pecah.
Ayo, pukul lagi, Kas! Pukul lagi! Matikan aku! Matikan!
Suara itu menjelma raungan, tapi hanya mampu didengarnya dari balik sanubari sendiri.
Kas mendengus. Cuping hidung lelaki tegap itu membesar dan napasnya terdengar begitu menderu “Perempuan bodoh!” teriaknya sekali lagi sebelum ia membanting pintu.
Sih sudah tak punya air mata. Kbisuan kembali merengkuhnya. Ia rasakan sekujur tubuhnya menggigil. Ada dingin yang menyengat-nyengat, lalu luka yang menyergap-nyerga.
“Kita akan menikah, Sih. Kau yang paling perempuan di jagad ini. Aku tak akan melepaskanmu!”
Di mata Sih, senyuman Kas seperti lengkungan pelangi terbalik yang menghiasi cakrawala. Pendarnya menggetarkan pojok-pojok sunyi dalam galau diri Sih. Seperti juga Kas, pada waktu itu Sih tak pernah berfikir ada lelaki yang lebih sempurna, yang Tuhan ciptakan selain Kas. Kas hanya dapat dikalahkan oleh para Nabi, bukan oleh manusia biasa. Apakah yang tak dimiliki Kas? Ia mapan, keturunan baik-baik, berjiwa satria, tampan, pintar…. Lelaki macam mana yang diperlakukan seorang perempuan selain yang seperti itu?
“Aku tetap akan menulis. Bukan untuk membantumu atau keuangan kita, tapi untuk diriku sendiri. Dan kamu Mas…, adalah inspirasiku yang tak pernah habis,” katanya beberapa hari satalah manikah.
Kas mengerjap-ngerjapkan matranya beberapa kali, menggoda Sih. Lesung pipitnya yang dalam tampak seketika. Lalu gemas ditekanya kedua pipi Sih dangan dua tangannya yang lebar dan kokoh. “Kau boleh melakukan apa saja, cinta,” katanya bagai penyair pemula. “Tahukah kau? Aku menikahimu karena engkaulah pengarangku. Lagi pula, kalau ingin bekerja yang lain, silakan. Aku bukanlah seorang sipir dan rumah ini bukan penjara yang akan mengurungmu,” bisiknya kemudian di telinga Sih.
Lima tahun. Lima tahun Kas dan Sih berumahtangga. Sih merasakan kebahagiaan bagai air terjun yang menyerbu-nyerbu dirinya. Ia mengenali pelangi semesta yang sama, yang dimiliki semau manusia, berpindah hanya mamendari rumah mungil mereka.
Sih tak pernah berhenti mengarang, sesuatu yang ditekuninya jauh sebelum ia bertemu Kas. Sementara Kas masih pegawai negeri di kecamatan.
Maka hari berkejaran di halaman waktu tak ubah kanak-kanak yang berlarian di lapangan luas tak jauh dari rumah mereka. Dan saat mata Sih melihat seorang anak jatuh, ia merasakan kembali keroak luka di batinnya.
Betapa jauh berbedanya Kas kini dengan Kas yang di kenalnya bertahun lalu. Ia tak boleh salah bicara di depan Kas, tak boleh menunjukkan wajah yang murung bila tak ingin lelaki itu menghantamkan tangan yang dulu selalu di pakai membelai Sih, ke sekujur tubuhnya bertubi-tubi. Kadang tanpa alasan Kas mencaracau, mencela, mengeluarkan kalimat-kalimat kasar dan menggelegar yang menjadi sengatan-sengatan strum di batin perempuan itu.
Bicara atau tidak, tersenyum atau tidak di hadapan Kas, menurut Sih tak akan mengubah apa pun. Kas sebenarnya hampir pergi. Setapak lagi, ia akan untuk selama-lamanya meninggalkan rumah mereka. Atau mungkinkah lelaki yang dicintainya akan mengusirnya? Sih mendengar gelegar tawa yang nyelekit itu saat usia pernikahan mereka genap lima tahun. Saat ia bertanya pada Kas tentang perempuan itu. Ya, perempuan penari itu. Usai tertawa itulah secara tiba-tiba Kas menjambak rambutnya hingga tubuhnya limbung beberapa saat. Kas meninju mulut Sih hingga gigi depannya patah dua! Ketika itu hati Sih berdetak. Ia akan kehilangan Kas!
Apakah perempuan itu yang membuat Kas berubah?
Perempuan penari itu muncul di hadapannya dengan wajah mengejek, seolah berkata: Hei, suamimu yang mengejar-ngejar aku. Ia memohon cinta dan berlutut di kakiku. Apa yang telah kau lakukan hingga ia lari dari sisimu?
Ya, apakah? Mengapa?
Sih kembali mengingat-ingat. Mungkin ia melakukan sesuatu yang salah atau menyakitkan Kas. Namun yang ia temukan hanya samudra cinta yang hampir meneggelemkan dirinya pada lara, lima tahun terakhir.
Kas berhubungan dengan perempuan penari yang ayu itu entah sejak kapan. Tetapi luka-luka cinta kian compang-camping dalam dirinya sejak lima bulan lalu, saat Kas hanya menyentuhnya dengan penuh kebencian.
Dan kini, salakah ia bila menjalin hubungan dengan lelaki itu? Ya, lelaki dengan mata elang, yang selalu datang dan pamit dengan senyum berjuta kupu-kupu. Sih kerap merasa lelaki itu memiliki kemiripan yang banyak dengan Kas.
Beberapa hari ini mereka selalu berjumpa di taman itu. Taman rahasia atau taman putih, begitu Sih menyebut taman yang letaknya tak begitu jauh dari tempat tinggal Kas dan Sih. Di sana memang sepi. Teramat hening malah. Di sana juga putih. Sih sendiri tak mengerti mengapa taman itu seperti bersalju. Tapi di sana penuh dengan pepohonan dan bunga-bunga sebagaimana seluruh taman di dunia ini. Kupu-kupu, burung-burung kecil melayang-layang. Beberapa diantaranya hinggap di ranting pohon yang coklat atau hijau pekat. Mereka menatap Sih dan lelaki itu seakan mau tahu apa yang mereka perbincangkan dan lakukan di taman hening itu. Ada yang berdesir. Angin rindu di hati Sih. Dan ia menikmati kerinduanya pada lelaki itu.
Sebelumnya selain kepada Gusti Allah, Sih hanya mau bercerita pada bunga, serangga, dan burung-burung kecil di sana. Lalu lelaki itu hadir. Ah ia rindu untuk menimang bayi. Banyak atau satupun tak apa. Sih terkesiap saat menyadari boleh jadi Kas berpaling karena kerinduan yang mendesak terhadap kehadiran seorang anak. Seorang anak yang hingga kini belum mampu diberikannya.
“Seorang perempuan di hargai karena banyak hal yang membuatnya hadir secara berarti dalam sebuah pentas bernama kehidupan, Sih. Ketiadaan seorang anak tak lantas membuatmu menjadi tak berarti,” kata lelaki itu padanya.
Sih memandang lelaki itu dan menikmati setiap ucapannya yang semilir. Ah, andai saja Kas yang berucap demikian. Bukankah Kas dulu pernah mengatakan hal yang hampir mirip?
“Sih…,“ tangan lelaki itu menyentuh. Sih ingin menggeser duduknya sedikit, tapi ia tak mampu. Burung-burung bercicit ramai di atas dahan-dahan pohon besar yang menaungi Sih dan lelaki itu. Bangku putuih menyaksi. Lelaki itu mencium keningnya.
Aku berkhianat, bisik Sih. Tidak. Ya, aku berkhianat. Aku telah mencintai lelaki itu. Kau memang mencintainya, dia mencintaimu. Suamimu kasar, suka menganiaya. Suamiku selingkuh? Ya, di depan matamu. Jadi, kau dan lelaki itu. Aku dan lelaki itu. Ia seperti Kas. Ia bukan Kas. Ia Kas.
“Aku menulis puisi untukmu, Sih,” suara lelaki itu terdengar lagi.
“Puisi?” lirih Sih.
Ia jadi ingat puisi yang di tulisnya untuk Kas. Puisa yang tak pernah sampai. Waktu itu ia melipat kertasnya bagai pesawat mainan dan menerbangkannya. Kertas puisi itu jatuh tak jauh dari ruma mereka. Sih baru ingin memungutnya, namun angina menerbangkan lagi bersama butiran pasir. Pasir-pasir menimbun kertas itu setengah hati dan tiba-tiba Sih tak peduli.
“Aku akan membacanya untukmu,” suara lelaki itu lagi.
Dan sekonyong-konyong Sih ingat bunyi puisi yang di tulisnya untuk Kas:
Meranggas darahku meranggas. Dan bumi kering, langit pias. Laut kita mati. Tandus berkarip sunyi.semesta gering mengantarku kembali padamu. Menyelusup pada sejuk alir darah, denyut nadi. Pada curahan keringatmu. Tapi laut kita sudah mati. Sudah mati…
“Bagaimana puisaku, Sih? Sukakah engkau? Apakah suatu hari nanti aku akan jadi pengarang sepertimu? Bagaimana menurutmu?” Lelaki itu tertawa, menampakkan gusinya yang merah segar. Mangapa ia seperti Kas? Kas juga dulu ingin belajar menulis puisi dan cerita….
Sih merasa ada air hangat di matanya. Lalu air yang dingin menetes-netes membasahinya. Semakin deras.
“Hujan,” sura lelaki itu. “Aku akan melindungimu dari hujan,” ia membuka jaketnya, membentangkannya ke tubuh Sih. Sih mencium aroma tubuh yang sama dari lelaki dan jaket itu. Seperti aroma yang telah menyatu dalam dirinya bertahun-tahun.
“Aku akan melindungimu dari segala, juga dari suamimu, “ujar lelaki itu lagi. “Aku akn membawamu pergi, Sih.”
“Haruskah aku pergi?” gumam Sih. Pergi berarti ia meninggalkan Kas selamanya. Pergi artinya memberi kesempatan pada penari itu untuk memiliki suami dan rumahnya. Untuk memiliki ranjang mereka.
“DEmi kau, demi kita.” Bisik lelaki itu. “Kau tak boleh bertahan dengan lelaki pemberang yang biasanya hanya memukulmu!” kali ini suara lembut itu mengeras.
“Aku ingin dilindungi. Aku ingin selalu dicintai…, aku ingin…”
“Aku akn mencintaimu selamanya, seperti aku mencintai surga,” lelaki itu merengkuhnya. Mereka berjalan menuju pondok kayu di tengah taman hening, pondok yang dibangun lelaki itu dengan tangannya sendiri, untuk Sih.
Dingin.
Dalam dekapan dan gelora diri, Sih mengenali aroma itu. Ah, ia tak sanggup lagi mengekalkan dusta. Air matanya merembes pada bantal diatas dipan. Sungguh, ia telah menciptakan sejuta lelaki di taman hening itu. Sejuta lelaki yang semuanya entah mengapa adalah Kas tapi tak sepenuhnya Kas. Lelaki-lelaki itu mengatakan mencintainya seperti surga. Kas tak pernah berkata seperti itu.
Sih beristighfar. Perlahan didihapusnya siisa-sisa air mata yang ada. Dengan gemetar jari-jari kurusnya mulai bergerak diatas mesin tik. Kas tak akan pulang lagi malam ini. Dan Sih, akan pergi ketempat itu lagi. Ke taman hening.




Sumber: Majalah Horison
Edisi: VII, 2007
Hal: 29-32

Riwayat penulis:
Helvy Tiana Rosa, lahir di Medan, 2 April 1970, memperolh gelar S1 dari Fakultas Sastra UI dan S2 dari Jurusan Ilmu Susastra, Fakultas ilmu Budaya UI. Ia pernah menjadi redaktur dan pemimpin redaksi majalah Annida (1991-2001), pendairi serta Ketua Umum Forum Lingkar Pena/ FLP (1997-2005), dan anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (2003-2006). Kini ia tercatat sebagai Ketua Majelis Penulis FLP dan Anggota Majelis Sastra Asia Tenggara. Sehari-hari Selvy adalah dosen di Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Jakarta. Sekitar 40 bukunya telah diterbitkan dan 10 naskah dramanya telah di pentaskan oleh Teater Bening (1990-2000). Cerpen-cerpennya telah diterjemahkan dalam bahasa inggris, Perancis, Jerman, Swedia, Jepang, dan Arab. Selain mengisi acara dalam berbagai forum di dalam negeri, Helvy juga diundang berbicara di Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, Jepang, Hong Kong, Mesir hingga Amerika Serikat. Ia pernah mandapat beberapa penghargaan, di antaranya sebagai tokoh Perbukuan IBF Award IKAPI (2006), Tokoh Sastra Eramuslim Award (2006), “Jaring-jaring Merah” sebagai salah satu cerpen terbaik Horison (1990-2000), anugrah pena untuk buku Lelaki Kabut dan Boneka (2002), Penghargaan wanita Indonesia Berprestasi dari tabloid Nova (2004),Ummi Award dan majalah Ummi (2004), dll. Buku terbarunya Tanah Perempuan (drama, Lapena 2007)

Banyak Merah di Bajunya

Sudah lama aku jatuh cinta kepadamu, dan aku tak bisa bangkit lagi. Aku tahu kamu juga. Tetapi kamu pintar menyembunyikan sesuatu.
“lihatlah, rosa. Cincin ini sudah empat generasi di keluargaku, eyang buyut kettib anom haji mutamakin khusus memesannya dari klaten seabad yang lalu, diwarisi oleh eyangku, kemudian ibuku, kemudian aku. Seluruh handmade. Cincin begini tidak ada lagi yang membuatnya. Memang berliannya tidak halus, sengaja tidak diasah, namanya inten prongkolan, cicinnya juga bukan emas, ini swasa, orang menyebutnya emas jawa, dengan swasa berlian jadi lebih bercahaya. Aku ingin memberikannya padamu”.
Kamu memegang cincin itu, menelitinya seperti pedagang. Kemudian mencobanya di jari manismu. Menciumnya berberapa kali dan melepasnya kembali. Setelah itu terdiam lama sekali kamu bertanya
“Mengapa ?”
“sebenarnyalah aku mencintaimu sejak lama,” aku tak berani menatapmu. “ mengapa ?” tanyamu lagi.
“me-nga-pa? aku sendiri taktahu. Aku mencintaimu begitu saja. Kamu cantik, rambutmu bergelombang, pipimu gemuk, pintar, berani, galak, dan terkenal. Tapi gadis itu juga banyak bukan ? jadi me-nga-pa ? maafkan aku. Kalau kamu tidak suka, lupakanlah.”
Kamu tertawa berderai-derai. Lalu kamu cepat sekali mencium pipiku. “ simpan kembali. Jika kelak kita menikah, aku inignn memilikinya .” dengan cara seperti itulah kamu menyatakan cintamu. Kemudian hari-hari berlalu hamper tanpa perubahan. Kita dikirim dari tempat ke tempat lain, mengikuti peristiwa. Reportasemu menjadi trademark bagi program hot news. Tiada berita tnpa rosa. Produser dan redaktur memujimu. Slot iklan cepat sekali habis dalam dollar, mengalahkan telenovela, dan kemudian, semuanya tinggal kenangan, menyedihkan, sudah lama aku tidak lagi di lapangan, menyandang kamera seperti dulu. Setelah peristiwa itu, aku memutuskan berhenti. Bekerja dengan kamera berate mengenangkan terus menerus kenangan pilu itu. Sekarang aku mengajar dan sekolah lagi. Pekerjaan yang tidak menghasilkan bnyak uang. Tetapi aku menyukainya, paling tidak berusaha menyukainya. Sekiranya dulu kita bekerja di sinetron, mungkin kejiannya tidak seperti ini. Dalam sinetron juga ad pembunuhan-pembunuhan, sama tidak masuk akalnya, tetapi semua hanya bohong-bohongan.
Aku berusaha melupakanya. Tetapi tidak bisa. Setiap menonton telivisi, kamu juga yang nampak disana memegang mikrofon dan berbicara kepada pemirsa. Rambutmu yang bergelombang, pipimu yang gemuk, baju putihmu, elana jinsmudan pesona cinta di kafe itu.
Perubahan setenah hati. Itulah yang sering kamu katakana mengenai reformasi itu. Masa transisi ini tidak akan selesai-selesai sebab deadline-nya tidak menetu. Juga kita pun misalnya, mengimpor pemimpin dari luar negri. Sudah. Pemimpin kita semuanya alumni luar negeri.kesalahan kita hanyalah : kita terlalu banyak kompromi. Dan lihatlah katamu, mereka yang dulu namanya seperti karitni begitu duduk di posisi, perilaku tidak di pahami. Banyak eksperimen-eksperimen mereka yang berbahaya, dan celakanya, hanya dilandasi dengan mimpi. Setiap hari mereka mengigau untuk tetap menempati posisi sampai akhir hayat di kandung badan, bahkan dengan mengorbankan apa saja yang bias di korbankan. Meskipun tidak patut.
Pada masa itu, dan selanjutnya, kerusuhan dalah tema berita kita sehari hari. Dengan sadar kita menjadi bagian dari semua yang tidak kita hendaki itu, hasil dari niat dan tekat yang setengah setengah. Dalam situasi seperti ini, tanpa alasan apa pun orang bias salin membunuh. Kita dikirim di pulau itu, karena peristiwanya sedang ada disana. Kita beruntung kita bias menebeng helicopter polisi. Dari atas kita bias melihat juga para pemirsa televisi, rumah-rumah yang terbakar membentuk jamur-jamur asap. Jalanan penuh dengan orang yang beerlarian, seperti beras di tampian, bangkai manusia berserakan tak terurus. Truk-truk mengangkuti pengungsi ke pelabuhan. Tentara ada di mana-mana. Kerusuhan paling besar dan paling tidak beraturan yang pernah kita liput. Bahkan mungkin lebbih mengerikan dibandikan Balkan. Mulai dermaga itu, dan memang pusat peristiwa itu da di situ, sampai ke pusat kota. Kapal pengungsi bersiap mengevakuasi pengungsi.dari situ kita menddapatkan cerita-cerita yang tidak masuk akal. Ini benar-benar sperti mimpi, katamu. Kamu bekerja penuh gairah dengan nafsu investigasi. Peluh membasahi pilipismu. Dan kita tahu bahwa orang orang di Jakarta hanya berbicara tentang slot iklan. Kita on live.
“rosa di pulau bersamajuru kamera…. Saudara, kerusuhan yang ada di pulau sampai sekarang belum ada tanda tanda akan mereda. Menurut penguasa darurat sipil setempat, awal mula terjadinya kerusuhan antar etnis dan agama ini….”
Aku sukaa meng close up mu. Terutama ketika wajahmu kemerahan terkena terik matahari. Bibirmu yang penuh nampak indah sekali, seperti tomat matang, membuatku segan mengalihkan arah kamera. Sejujurnya. Setelah kamu menciiumku di kafe itu, kaaku ingin membalasmu. Mendekapmu dan memikirkan lain-lain selebihnya yang memalukan, sementara kamu berkonsentrasi menyampaikan informasi dari balik kameraaku mengintaimu.
Tiba-tiba kamu berteriak :” fahri! Lihat! putar kameramu! “ aku memutar kamera dan menyorot segerombolan orang berjibaku saling memusnahkan. Senjata tajam di ayun-ayunkan ke udara. Cres-cres-cres! Tentara menyebar dan menembak. “ lebih dekat lagi,” katamu “tidak!” jangan rosa! Ini sudah sangat berbahaya!” “ ayolah, kamu akan mendapatkan gambar gambar hebat!”
Kamu tak bias dicegah lagi. Dan kemudian seperti yang aku takutkan, kita terjebak di tengah huru hara. “ minggir rosa! Lari! Lari!” kita sudah terlambat. Sambil berlari undur, aku berusaha mendapatkan gambar gambar itu. Lalu dor dor dor itu. Kamera terpental berantakan. Telingaku seperti meledak. Kemudian ku lihat banyak merah di bajumu. Kamu terhuyung huyung sebelum terjatuh, aku menyambarmu. Darahmu mengalir dari punggungmu ke sela jari jari ku. Tetapi kamu masih sempat meraih mikrofon itu.
“ dapat gambarnya, ri ?” itu lah kalimat terakhirmu. Ampai di rumah sakit kamu sudah seputih kapas. Empat hari kemudian kamu mati. Studio dipenuhi karangan bunga, juga dari panglima. Seandainya segera saja aku memaksamu menyingkir begitu dor yang pertama itu, mungkin aku tidak duduk menyendiri di pojok studio dengan mata sembab. Maaf rosa, aku terpaksa menangis. Semua teman wartawan dating melepas kepergianmu. Hari itu wajahmu menghiasi halaman depan Koran-koran.
Dengan riasan pengantin kamu cantik berlipat kali, terbaring diam, untaian salib terjalin di tanganmu. Aku dating ke gereja menyaksikan misa requiem untukmu.sangat megah, sangat indah. Doa yang dinyanyikan itu membuatku pilu, perih, sepi.
Sisa mikrofonmu ditaruh dalam kotak kaca dan dipamerkan di lobi studio. Di dalamnya ada plakat dari tembagayang menerangkan mengenai peristiwa itu . studio VI, setempat ditayangkan, sekarang berganti namamu : studio rosa, pasti kamu tidak menyukainya. Sudah ratusan orang mati dalam kerusuhan itu, tidak pernah ada plakat, dan masih akan menyusul ratusan lagi.perlatan kita akan diganti oleh penguasa, meskipun itu tidak perlu. Karena semuanya telah disuransikan. Telinga kananku sobek, enam belas jahitan, pecah di dalam dan tuli untuk selamanya. Tidak ada yang bias mengganti, oleh mereka aku di tawari macam-macam, rumah, mobil, naik haji, dan apalagi kalau bukan uang dan uang. Aku tidak mau rosa, aku tidak mau. Kehilangan ini tak akan terganti. Cintaku kepadamu, seperti di dalam lagu, tak akan pernah mati.
Kamu menjelma jadi berita. Dengan hikmat, polisi berjanji di depan teman teman wartawan, untuk mengusut kejadiannya. Sejak semula aku pesimis, aku ditanyai seperti pesakitan. Aku bersumpah berkali kali bahwa itu bukan peluru nyasar juga bukan sekedar “ kesalahan prosedur”. Sama sekali bukan. Kamu sudah diincar sejak lama. Beritamu membuat semua orang tidak enak makan. Tetapi kemudian, seperti sudah, kasus kasus yang lebih besar menutup kasus mu ini. Pemred kita, rosa. Pemred kita yang telah kita anggap sebagai guru dalam jurnalistik dan idealisme, telah melakukan sejumlah kompromi kompromi dan itu berarti konsensi konsensi. Kasusmu masuk dalam the x file.
Ada tiga puluh orang pengacara, teman teman kita juga. Dating kepadaku berbicara panjang lebar tentang menutut polisi dan pemred kita. Mereka disponsori asosiasi, dank arena itu tidak perlu dipikirkan soal biaya, dan hanya dibutuhkan partisipasiku saja. Aku sudah sangat capek. Dulu pernah kita perjuangkan kasus yang serupa, tidak serumit kasusmu ini, berakhir pada jalan buntu. Jadi apalah arti semua omong kosong ini bila kau tetap mati. Penghiburanku sekarang ini hanyalah, aku tak jadi bertengkar dengan keluargaku karena menikahimu.



oleh :
Agus fahri husein
Lahir dibuleleng(bali), 28 februari 1964.
Pernah kuliah di fakultas ugm hingga tamat s1(1994)
Pernah bekerja sebagai wartawan dan editor buku di jogjakarta dan Jakarta
Menerjemahkan buku dan menulis kritik seni rupa.

Menulis cerpen sejak 1981 diantarnya :
* Antologi hijrah ( jamaah salahhudin ugm jogjakarta 1985)
* Antologi terompet terbakar (jamaah salahhudin ugm jogjakarta 1990)
* Antologi ambang (festival kesenian daerah DIY 1992)
* Diverse lives contemporary stories from Indonesia ( translate by jeanette lingard, oxford university press, 1995)



Majalah HORIZON
Terbit bulanan, tahun XXXV, no 7/2002
Juli 2002