08 Mei 2009

Usai perang saudara ia mendapat berita dari kota kelahirannya, sebuah kota kecil di atas bukit. Berita itu disampaikan seorang tetangga yang kebetulan bertemu dengannya di sebuah reuni teman sedaerah di sebuah gudung pertemuan di Jakarta.

“Pergilah, jenguklah tanah kelahiranmu. Apakah engkau tidak rindu?
“Rindu sih, rindu. Tapi kerabat di di saja jarang berkirim surat padaku.”
“Mungkin mereka tidak mengetahui alamatmu, Martinus. Mungkin sekali. Peperangan telah memisahkan semua orang. Sebagian kawan-kawan kita telah mengungsi ke Halmahera pada waktu itu, dan tidak kembali. Sebagian lagi pergi ke Makasar, dan tidak pernah kembali. Apakah kau seperti mereka juga?”
Ia semakin tergugah. Telah lama ia ingin pulang. Sebelum perang saudara pecah, ayahnya yang dinas di ketentaraan kebetulan berada di Jakarta dan tidak diperkenankan kembali karena berita pemberontakansudah tercium oleh pemerintah pusat. Martinus dan ibunya serta adik-adiknya, mentusul ke Jakarta dan menitipkan rumah dan kebun-kebun cengkehnya kepada keluarga dekat. Beberapa bulan kemudian pertikaian erdarah pecah. Sejak itu, selama bertahun-tahun ia kehilangan kontak dengan kerabat-kerabat dekat,sampai saat terakhir, setelah pemberontakan dipadamkan, tidak ada kabar berita dari kampong halaman. Ayahnya sudah tidak dinas lagi. Ayah dan ibunya tidak pernah mendorongnya kembali ke tanah kelahiran, entah mengapa, ia sendiri tidak tahu. Setiap kali berbicara mengenai kampong halaman, ayah dan ibu bungkam. Wajah mereka menunjukkan suasana murung.
Tetangga itu sudah kembali ke Manado. Sebelumnya ia mengajak martinus untuk pulang versama-sama. Tetapi karena ada pekerjaan yang harus diselesaikannya di kantornya, ia katakana ia menyusul, entah tahun depan. Masa remajanya dihabiskan di kota pegunungan itu. Ia ingin bertemu dengan kawan-kawan remaja yang dahulu, inginmendaki gunung dan melihat puncak gunung berapi yang tinggi. Ia ingin memancing di rawa-rawa yang luas. Teringat akan bau cengkeh yang mekar bagai selimut gunung dari kejauhan. Ia ingin panjat pohon, untuk memuaskan rindu masa kanak yang dahulu. Udara pegunungan yang segar serasa merasuk ke dalam paru-paru saat mengingatnya.
Beberapa menit sebelum mandarat di lapangan udara, martinus masih menyaksikan gunung berapi yang hangus puda puncaknya. Belum lama berselang setelah “tidur” sekian puluh tahun, memuntahkan isi perutnya dan menutupi pepohonan dan kampong-kampung di bawahnya.
Dengan “taksi” ia menuju kota. Taksi yang diisi oleh banyak orang, sejenis angkutan di pulau jawa. Dalam waktu setengah jam ia sudah tiba di ibu kota sulawesi utara itu. Dan sejam kemudian ia melanjutkan perjalanan kea rah pegunungan. Bau udara pedesaan dan pegunungan kembali mengisi rongga paru-parunya, mengigatkan ia kepada masa remajanya yang sering bermain dibawah pohon cengkeh dan pohon kelapa. Ia merasa heran melihat tugu yang berdiri di setiap simpang jalan ke kota lain. Dalam hati ia berkata mengapa banyak tugu di setiap simpang menuju kota yang lain. Dulu tidak ada tugu-tugu semacam itu. Apakah ini benar-benar negeri seribu tugu seperti yang pernah dikatakan oleh seorang wartawan sehabis perang saudara? Semula ia tidak memperhatikan sindiran wartawan itu. Tetapi sekarang ia menyaksikan sendiri betapa tugu itu nyata dan masih ada di hamper semua pintu masuk kota pegunungan.
Menjelang petang ia tiba di tanah kelahirannya, sebuah kota kecil di pegunungan. Daun-daun pohon tampak memutih, mungkin debu dari letusan gunung berapi beberapa waktu yang lalu. Ia terkejut melihat terminal kendaraan yang berlubang-lubang, dan rumah-rumah yang setengah hangus di sana-sini. Dengan melangkah keluar dari terminal itu, ia melihat beberapa rumah baru terbuat dari tala, batu bata buatan sendiri, yang belum dilapisi dengan semen. Dimana-mana tampak pemandangan yang tidak lazim. Bangunan-bangunan setengah jadi, reruntuhan rumah yang terbengkalai. Pasar yang kumuh, kantor desa dan pos koramil yang berlubang-lubang bekas peluru. Ketika kepalanya ditegakkannya, memandang ke atas, ia menatap rumah sakit yang masih utuh di atas bukit.
“Hai, martin! Jadi juga kau datang?” sapa orang yang tiba-tiba menyentuh pundaknya.
“Hei,ruben. Kau bikin kaget saja!”
Dialah tetangganya yang bertemu dengannya di reuni di Jakarta tempo hari.
“Kau heran melihat kota kecil ini?” tanyanya.
“Ya, ben. Seperti asing bagiku. Mana rumahmu?”
“Mari, mampirlah,” kata ruben.
“Mengapa kota kecil ini jadi begini?” Tanya martinus sambil berjalan.
“Itulah,” sahut ruben, “kota kecil ini baru bangun dari reruntuhan. Ketika perang saudara dahulu, kawan-kawan bermarkasdi sini dan berjuang mati-matian mempertahankannya dari gempuran pusat. Ya, perang saudara itu begitu kejam. Pemuda-pemuda yang berjuang sampai titik darah terakhir digempur habis-habisan disini. Satu demi satu rumah runtuh dan kota kecil ini kemudian ditinggalkan pejuang yang sisa. Ketika pertikaian berdarah itu berakhir, kota ditemukan penghuninya sudah rata dengan tanah.”
Martinus menarik nafas dalam-dalam.
“Masuklah!” kata ruben.
Martinus terbangun dari renungannya. Entah kenangan apa yang menyelinap dalam benaknya melihat sekitarnya, sisa-sisa perang saudara.
“Rumahmu?” tanyanya.
Ruben mengangguk.
“Tidak seperti dahulu,” kata martinus. “semuanya sudah berubah.”
“Ya. Ketika panen cengkeh dahulu dengan harga yang lumayan, rumah ini dibangin kembali. Seandainya saja dulu. Asal dapat ditempati.”
“Tentunya kau beruntung. Yang lain yang saya liat masih tinggal kerangka dan reruntuhan.”
“Mereka yang punya belum kembali dari pengungsian. Entahlah mereka menetap di sana. Sebaiknya mereka kembali membangun kota kecil ini dan memulihkannya sebagai kota peristirahatan di gunung, seperti dahulu.”
“Martinus memandang ke sekitar rumah, tampak bangunan-bangunan setengah jadi. Di arah ke bawah, pada lereng gunung yang tigak begitu tajam, ada beberapa bangunan yang sudah jadi, dan di belakangnya, beberapa pohon kelapa yang gosong separuh, walaupun masih berdiri tegak. Ada juga rumah di sebelahnya yang gentingnya pecah-pacah.
“Kau ideali sekali,” kata martinus sambil masuk ke dalam rumah dan duduk di kursi yang terbuat dari kayu.
“Tidak juga, martin. Pernah kucoba merantau ke daerah yang lain, tapi tidak berhasil. Aku kembali ke sini karena disini kurasa ada sesuatu yang dapat kulakukan, seperti dahulu pernah diakukan orangtuaku.”
“Dimana mereka kini?”
“Siapa?”
“Orang tuamu?”
Ruben tidak segera menjawab. Ia menatap ke dinding, tempat potret kedua orangtuanya yang tergantung di dinding, di samping potret seluruh anggota keluarga.
“Mereka sudah tiada, martin. Meninggal waktu perang dahulu……”
“Oh, aku tidak tahu.”
“Tidak apalah. Itu masa lalu. Juga sebagian saudara-saudara itu, kenal bukan? Susan tertembak ketika bertugas sebagai petugas medis; fredi tewas waktu bertempur di kota kecil ini…dan aku serta beberapa adikku sempat meloloskan diri…. Ah,sudahlah.”
“Aku turut bersedih,” kata martinus.
“Silvy, ini ada tamu dari Jakarta,” kata ruben.
“Seorang perempuan usia tiga puluh muncul dari kamar.
“ Iteriku, kenalkan.”
Martinus berdiri dan menyalaminya.
“Nanti kita menuju rumahmu yang dulu,” kata ruben, “istirahatlah dulu sejenak. Atau kalau mau bermalam si sinilah.”
Malam itu mertinus menginap dirumah ruben.
Pagi-pagi sekali., ia sudah terbangun. Tidak ada celoceh burung seperti dahulu. Matahari menyengat lewat jendela. Ingin sekali ia mengetahui keadaan rumahnya, tempat ia lahir, dibesarkan dan bermain-main.
Rubenmengajaknya keluar pagi itu. Dibawah terpaan sinar matahari yang keras, tapi hembusan angin pegunungan, membuat sengatannya tidak begitu tajam.
Setelah melewati daerah rawa-rawa, mereka sampai di sebuh ladang yang ditumbuhi oleh cengkeh yang kurang terawatt. Pohon-pohon cengkeh yang tinggi berbaris menutupi lading yang melengkung. Ditengah-tengahnya ada sebuah bangunan yang nyaris tidak beratap dan dindingnya bolong-bolong.
Martinus berhenti dan menyandarkan tubuhnya ke batang pohon cengkehyang besar, yang berdiri tegak. Ia memejamkan matanya. Barangkali membayangkan kembali masa dahulu, rumah yang indah diantara pepohonan cengkeh dan kelapa. Ayah dan ibu yang merawat kebun dengan baik dan cengkeh yang berbuah rendah. Tangkai-tangkai cengkeh yang sarat buah nyaris menyentuh tanah. Tapi kini cengkeh sudah tinggi, sukar dipanjat. Adakah keinginan yang dahulu, ketika berada dijakarta, ingin memanjat pohon cengkeh yang kini begitu tinggi?
Ruben mengguncang bahunya. “Heh, bangun dari lamunanmu! Lihatlah kenyataan ini! Lihat! Rumahmu yang masih utuh. Kau dapat memperbaikinya. Pohon cengkeh yang tinggi, kau dapat menggantinya dengan benih-benih yang baru. Ini bumi tuhan, yang memberikan kehidupan kepadamu! Lihat kenyataan ini! Ayo kita masuk ke dalam rumahmu!”
Ditariknya tangannya. Mereka berdua melangkah.
Martinus meneteskan air mata ketika ia melihat dapur yang hancur, kamar tidurnya yang bolong-bolong dindingnya. Lantainya yang berdebu dan atap yang hanya tinggal kerangka.
“Kau lihatlah, rumah ini menanti jamahan tanganmu. Lading ini menunggumu. Bangunlah kembali rumah dan ladangmu ini. Kalau bukan kau, siapa lagi yang harus mengurusnya?”
Martinus tidak bereaksi. Tampaknya ia masih terpukau oleh baying-bayang masa lampau daripada kenyataan masa kini. Ia keluar ke belakang dan melihat sumur yang dalam. Ia menjatuhkan sebutir batu bundar yang kecil dan mendengar decak air.
Ruben menarik tangannya sambil berkata,”Kau mau bertemu dengan teman-temanmu semaja remaja dahulu?”
“Ya,” jawab Martinus. “dimana mereka?”
“Kediaman mereka tidak jauh dari sini. Lima belas menit perjalanan. Ayolah!”
Keduanya berjalan menurun, kearah utara. Di balik pepohonan mereka melihat rumah yang dihuni. Beberapa orang menjemur cengkeh di halaman rumah sementara beberapa orang lagi meyusun karung di kolong rumah tinggal yang tinggi. Setelah itu mereka sampai disebuah tempat tanpa bangunan.
“Dimana mereka?” Tanya martinus.
“Disini! Lihatlah kebawah.”
“Nisan?”
“Ya. Bacalah nama-nama yang tertera disana.”
Martinus membaca satu demi satu nama di atas nisan itu. Nama, tanggal lahir, tanggal kematian: Rudi,Susan, Hengki, Titus, Franky, Julius, Turman, Bartomeus, Jonatan, George, Jimmi…
Martinus pusing. Ia tidak dapat meneruskan pembacanya. Nama-nama itu, wajah mereka terbayang di benaknya. Semuanya mati muda. Mereka yang baru mekar tapi luruh waktu muda. Bukan di makam pahlawan. Mereka mati dibumi tuhan. Mereka lahir, dibesarkan dan mati disini.
“Siapa yang harus meneruskan perjuangan mereka untuk membangun negeri ini, martinus?” Tanya ruben ketika mereka duduk di atas sebuah kayu yang tumbang sambil menatap ke kaki gunung. “Mereka sudah tiada, demi negeri ini. Demi kepentingan bangsa, ya demi dari sekian demi yang sering kita dengarkan dalam pidato para polotikus.”
Martinus tudak menjawab. Ruben yang berbicara perlahan, mengejitkannya. “Katakan pada ayahmu bahwa penduduk kota ini mengasihinya. Tidak lagi membencinya. Katakan padanya, bahwa mereka sudah melupakan masa lampau….”
Martinus tidak mengerti. Di dalam baying-bayang pikirannya terlintas wajah ayah yang murung, setiap kali berbicara mengenai tanah kelahirannya.
Ketika ia duduk kembali di dalam pesawat menuju Jakarta, ia menatap kebawah, melihat kepundan gunung berapi, dan menyaksikan kota telaga batu yang sedang mengeliat di antara reruntuhan, dan pohon cengkeh yang tua, merindukan peremajaan.



WILSON NADEAK

Lahir diporsea, Sumatra utara,5 desember 1942. Tahun 1965 ia lulus dari jurusan theologia perguruan tinggi advan,bandung dan tahun 1970 lulus dari jurusan inggris akademi bahasa asing,bandung.
Ia pernah menjadi redaktur pemuda advan(1961),mingguan sinar (1964),truna jaya,pemimpin redaksi atau penanggung jawab penerbitan Indonesia publishing house dibandung,pengajar di universitas padjajaran bandung.

Ia banyak menulis buku rohani karyanya : mutiara perempuan pantai (1968),
Ketika badai tertiup (1973)
Bayang-bayang keselamatan (1973)
Pengungsi-pengungsi dan cerita lainnya (1976)
Orang-orang merdeka (1977)
Bagaimana menjadi penulis yang sukses (1983)
Tentang sastra (1984)
Sekilas gambaran dunia sastra Indonesia (1984)
Wajah (1984)
Hari-hari dalam hidupku (1984)
Pengadilan cinta dan hati nurani (1985)
Ditepi sungai babilon (1985)
Pengajaran apresiasi puisi untuk sekolah lanjutan atas (1985)
365 halaman menuju sukses (1986)
Stasiun kereta suatu senja (1994)
Dan lain-lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar