24 April 2009

Tentang Taufik Ismail-5

Betapa pun Sukar dan Seperti Mustahilnya, Tetap Kita Menyeru Kebaikan dan Melawan Kemunkaran
(Taufik Ismail)


Berdiri di atas ketinggian tebing memandang panorama Indonesia hari ini, maka kita akan saksikan pemandangan menyedihkan ini :

Kita hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda
terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara di dunia
Penganggur 40 juta orang, anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid
pecandu narkoba 6 juta anak muda,
pengungsi perang saudara 1 juta orang,
VCD biru beredar 20 juta keping,
kriminalitas merebak di setiap tikungan jalan,
dan beban hutang di bahu 1600 trilyun rupiahnya.

Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol
di ruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya,
dan di punggung kita dicap sablon besar-besar
"Tahanan IMF dan Penunggak Hutang Bank Dunia"
Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu
menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.

Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali
Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku.
Dulu penjajah kita satu negara,
kini penjajah multi-kolonialis banyak bangsa.
Mereka berdasi sutra, ramah tamah luarbiasa dan berlebihan senyumnya
Makin banyak kita meminjam uang meeka makin gembira
karena leher kita makin mudah dipatahkannya.

Di atas adegan fisikal hancur-hancuran ini, belum lagi termasuk gempa bumi dan gelombang tsunami lalu bencana alam serta penyakit menular dan tidak menular yang menimpa masyarakat luas, dengan pedih kita rasakan nilai-nilai luhur yang berkeping-berantakan di sekitar kita :

Keimanan
Kejujuran
Ketertiban
Kesopanan
Pengendalian diri
Pengorbanan
Tanggung jawab
Kebersamaan
Keikhlasan
Optimisme
Kerja keras
Menghargai pendapat orang lain

Untuk menyebut 12 nilai luhur (yang bila diperlukan, masih dapat diperpanjang sampai 50 butir lagi), yang sudah cukup menyesakkan nafas kita. Orang biasa memadatkannya menjadi dua kata, yaitu keruntuhan akhlak :

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak
Berjalan aku di Sixth Avenue, Meydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala

Sebuah keruntuhan yang merupakan bencana luar biasa, pada saat orang tidak lagi mampu membedakan antara mana yang boleh, mana yang tidak boleh, atau mungkin masih tahu tetapi bila sampai pada pilihan gawat masuk-tidak-masuknya rezeki, maka kemampuan itu buyar :

Apalagi di negeri kita lama sudah
tidak jelas batas halal dan haram,
ibarat membentang benang hitam
di hutan kelam jam satu malam

Bergerak ke kiri ketabrak copet
bergerak ke kanan kesenggol jambret,
jalan di depan dikuasai maling,
jalan di belakang penuh tukang peras,
yang di atas tukang tindas

Untuk hari ini
bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia
sudah untung

Cita-cita menjadikan Indonesia negara industri secara ironi saya tuliskan sebagai berikut ini :

Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali.
Berbagai format perindustrian,
sangat menjanjikan,
begitu laporan penelitian.
Nomor satu paling wahid,
sangat tinggi dalam evaluasi,
hari depannya penuh janji,
adalah industri korupsi.

Prosedur investasi industri korupsi
tidak dipersulit birokrasi sama sekali
karena iklim kondusif, banyak fihak partisipatif,
cerah secara prospektif, sehingga sangat atraktif,
pasti produktif, semangatnya kreatif,
dan terhadap mereka yang reaktif dan negatif,
akan dipasang penangkis kuda-kuda antisipatif.

Sharebolder, stakebolder, dan key bolder
industri korupsi ini lebar sekali,
meliputi semua potongan hidung, pesek dan mancung
lalu bentuk mata, sipit dan membuka,
seluruh visi dan misi,
kelompok politisi,
praktisi ekonomi seluas-luas profesi
dipayungi oleh kroni,
hubungan famili,
ikatan ideologi,
suku itu dan ini
dari mana saja provinsi

Penamaan koruptor sudah tidak menggigit lagi kini,
istilah korupsi sudah pudar dalam arti,
lebih baik kita memakai istilah maling,
Malling dengan dua el, membedakannya dari maling dengan satu el.

Dinamika pengambilan benda yang bukan hak si pengambil, berkembang secara sangat terbuka, blak-blakan dan bersemangat justru dalam masa reformasi, setelah 1998, hingga hari ini :

Lihatlah para malling itu kini berfungsi dalam semangat gotong-royong
Mereka bersaf-saf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu’
Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya.
Begitu sistematik prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya.
Begitu khusyu’nya, engkau kira mereka beribadah.
Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada malling yang istiqomah?

Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya,
Membentang dari depan sampai ke belakang,
Melimpah dari atas sampai ke bawah,
Tambah merambah panjang deretan saf jamaah.
Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin.

Bagaimana melawan malling yang kerja gotong-royongnya berjamaah?
Bagaimana menangkap malling yang prosedur pencuriannya
Malah dilindungi dari atas sampai ke bawah?
Dan yang melindungi mereka, ternyata,
Bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah.
Bagaimana ini?

Situasi ini telah membuat sebagian kecil manusia Indonesia yang kepribadiannya jadi berbelah-bagi, tak sekata tak serasi antara bagian badan kanan dan kiri, berbeda pula fungsi antara tubuh yang kanan dengan yang kiri, sebuah konstatasi proses genetika yang layak diamati :

Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi
MOU (Memorandum of Understanding)
Dan MUO (Mark Up Operation)
Tangan kanannya membuat yayasan beasiswa,
Asrama yatim piatu dan sekolahan.

Kaki kiri jamaah ini melakukan studi banding pemerasan
Dan mengais-ngais upeti ke sana ke mari
Kaki kanannya bersedekah, pergi umrah, dan naik haji.

Otak kirinya merancang prosentase komisi pembelian,
Pembobolan bank dan pemotongan anggaran,
Otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha,
Dan memohon ampunan Tuhan

Betapa bingungnya kita menghadapi keadaan edan-edanan, amburadul, bergelemakpeak, kusut, carut marut, chaotic, sesak nafas, in fausta, dihadapkan pada posisi akut al-manzilab baik al-manzilatain, menentukan posisi di antara dua posisi ini, menghindari kefasikan. Betapa berat, alangkah musyakkat. Apa yang mesti dibuat?

Bagaimana caranya melawan malling begini
Yang bergotong royong bersama-sama mencuri
Dengan lirik holopis kuntul baris bersemangat bernyanyi
Barisannya kukuh seperti benteng kraton,
Tak mempan dihantam gempa dan tsunami bandang,
Malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang undang-undang,
Penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi bergantian.

Bagaimana caranya memroses hukum
Malling yang jumlahnya ratusan ribu, bahkan mungkin sejuta
Cukup membentuk sebuah negara mini,
Meliputi mereka yang pegang kendali perintah,
Eksekutif, legislatif, yudikatif dan dunia bisnis
Yang pegang pestol dan mengendalikan meriam,
Yang berjas dan berdasi,
Bagaimana caranya?

Mau diperiksa dan diusut secara hukum?
Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan?
Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman?
Hakim dan jaksa yang steril bersih dari penyuapan?
Percuma? Buang tenaga?
Tetapi harus tetap dijalankan
Seratus tahun pengadilan, setiap hari 12 jam dijadwalkan
Insya Allah akan lumayan, walau tak tuntas terselesaikan
Dua puluh presiden kita turun dan kita naikkan
Masalah ruwet kusut ini mungkin tak habis teruraikan
Tetapi harus tetap dijalankan.

Menoleh balik ke beberapa dasawarsa ke belakang, maka akan tampak bahwa betapa berjalin-berkelindannya jaringan kekacauan yang membelit tubuh bangsa, mencekik leher kita, menindas nafas semua :

Kita selama ini sudah terperangkap, terjerebab, terikat, terjerat,
Dalam sistem yang kita sendiri buat,
Sistem yang ruwet, kusut, keriting, dan berbelit sangat,
Yang dari padanya, rakyat tidak dapat manfaat.
Dan karena kita semua terlibat,
Merubahnya seperti kita tak lagi dapat.

Kita saksikan betapa sukarnya kerja yang jadi beban Komite Pemberantasan Korupsi. Bagi kita sebagai bangsa telah sangat hayati beratnya cobaan ini. Dan kita meratap : ”Maadza arada Llaahu bi badza matsala?” Apakah gerangan yang sebenarnya Dikau kehendaki dari ini umpama :

Jadi, saudaraku, bagaimana caranya? Kita harus membujuk mereka.
Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk.
Agar bersedia mengembalikan jarahan yang bertahun-tahun
Dan turun temurun sudah mereka kumpulkan

Kita doakan Allah membuka hati mereka
Terutama karena terbanyak dari mereka orang yang shalat juga,
Orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga,
Orang yang melakukan kebaktian di gereja, pergi ke pura dan vihara juga,
Kita bujuk baik-baik, dan kita doakan mereka,
Agar bersedia kepada rakyat mengembalikan jarahan mereka.

Kerjasama PP Muhammadiyah dan PB Nahdhatul Ulama dalam memberantas penyakit masyarakat ini, bersama dengan LSM-LSM lain dan seluruh kelompok bangsa yang masih bersemangat, harus kita dukung sepenuh tenaga, walau bagaimana pun mendung dan pesimisnya cuaca hari ini. Janganlah sampai terjadi hal berikut ini :

Celakanya, jika di antara jamaah malling itu ada keluarga kita
Ada hubungan darah atau teman sekolah,
Maka kita cenderung tutup mata
Tak sampai hati menegurnya

Celakanya, bila di antara jamaah malling itu
Ada orang partai kita, orang seagama atau sedaerah,
Kita cenderung menutup-nutupi fakta,
Hukumnya lalu dimakruh-makruhkan,
Dan diam-diam berharap semoga kita
Mendapatkan cipratan harta
Tanpa ketahuan siapa-siapa

Menghadapi masalah ringannya banyak orang mengambil benda yang bukan haknya ini, yang mengubur etika dan makin membudaya, saya ingin mengutip gagasan almarhum Kuntowijoyo tentang etika profetik yang bersumber dari Al Quran, 3:110, Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, dan beriman kepada Allah

Setelah menyatakan keterlibatan manusia dalam sejarah (ukhrijat linnaas) selanjutnya ayat itu berisi tiga hal, yaitu :
’amar ma’ruf (menyuruh kebaikan, humanisasi)
Nahi munkar (melawan kemunkaran, liberasi)
Tu’minu billaah (beriman pada Tuhan, transedensi)

Etika profetik yang berisi tiga hal, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi itu, menjadi pelayan bagi seluruh umat manusia, rahmatan lil ’aalamiin. Liberalisme akan memilih humanisasi, Marxisme liberasi, dan kebanyakan agama transendensi. Etika Profetik menginginkan ketiga-tiganya. Masalah-masalah kemasyarakatan kebudayaan kita hadapi dengan Etika Profetik ini.


23 April 2009

Aliran Sastra

1. ALIRAN ROMANTIK
Dasar pemikiran aliran ini ialah ingin menggambarkan kenyataan hidup dengan penuh keindahan tanpa cela. Jika yang dilukiskan itu kebahagiaan, maka kebahagiaan iyu perlu sempurna tiada tara. Sebaliknya jika yang dilukiskan kesedihan, maka pengarang ingin agar air mata terkuras. Sebab itu aliran romantic sering dikaitkan dengan sifat sentimental atau cengeng.

Dalam puisi moderen, penyair-penyair yang dapat dikategorikan sebagai penyair romantik, misalnya : MUHAMMAD YAMIN, AMIR HAMZAH, JE.TATENGKENG (dari Angkatan Pujangga Baru), RAMADHAN KH. KIRDJOMULJO dan RENDRA (dari periode 1953-1961), TOTO SUDARTO BACHTIAR (Gadis Peminta-minta), KIRDJOMULJO (Romance Perjalanan)

Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu, karya Amir Hamzah, pada hakekatnya adalah rekaman kedukaan penyair setelah patah hati dengan kekasihnya, Lilik Sundari.

PRIANGAN SI JELITA
(Chairil Anwar – 1965)

Seruling berkawan pantun,
Tangiskan derita orang priangan,
Selendang merah, merah darah
Menurun di Cikapundung
Bandung, dasar di danau
Lari bertumpuk di bukit-bukit

Seruling menyendiri di tepi-tepi
tangiskan keris hilang di sumur
Melati putih, putih hati
Hilang kekasih dikata gugur

Bandung, dasar di danau
Derita memantul di kulit-kulit

Kumpulan puisi-puisi cinta karya Rendra yang berjudul “Romansa” dan “Kakawin Kawin” juga merupakan jenis aliran Romantik, berisi surat cinta, masa pacaran, dan perkawinan di gereja. Kekaguman kepada Dik Narti yang menjadi seriosa (putrid duyung dengan suara merdu lembut bagai angina laut) digambarkan dengan sangat plastis.

SURAT CINTA

Kutulis surat ini
Kala hujan gerimis
Bangai bunyi tambur mainan
Anak-anak peri dunia yang gaib
Dan angina mendesah
Mengeluh dan mendesah
Wahai, dik Narti!
Aku cinta padamu!

Kutulis surat ini
Kala langit menangis
Dan dua ekor belibis
Bercintaan di dalam kolam
Bagai dua anak nakal
Jenaka dan manis
Mengibaskan ekor
Serta menggetarkan bulu-bulunya
Wahai, dik Narti!
Kupinang kau menjadi istriku!

Kaki-kaki hujan yang runcing
Menyentuh ujungnya di bumi
Kaki-kai cinta yang tegas
Bagai logam berat gemerlapan
Menembus ke muka
Dan tak kan kunjung diundurkan
………………………………..
Engkau adalah putrid duyung
Tawananku
Putri duyung dengan
Suara merdu lembut
Bagai angina laut,
Mendeahlah bagiku!
Angin mendesah
Selalu mendesah
Dengan ratapnya yang merdu

Engkau adalah putrid duyung
Tergolek lemas
Mengejap-ngejapkan matanya yang indah
Dalam jaringku
Wahai, putrid duyung
Aku menjaringmu
Aku melamarmu

Kutulis surat ini
Kala hujan gerimis
Kerna langit
Gadis manja dan manis
Menangis minta mainan
Dua anak lelaki nakal
Bersendau gurau dalam selokan
………………………………….
(Empat Kumpulan Sajak, 1961)

Rendra, dalam “Ballada Orang-orang Tercinta” mengisahkan perampok Atmo Karpo, gadis Anita yang kesepian, orang tua tersia yang bernama Kasan dan Patima, gadis desa malang yang gila karena difitnah yang bernama Sumilah, juga tentang Yesus Kristus. Subagio Sastrowardoyo menyatakan bahwa BOT merupakan saduran dari puisi-puisi Lorca.


2. ALIRAN REALISME
Aliran realisme menggambarkan segala sesuatu secara realistis, apa adanya. Dalam penggambaran secara apa adanya itu, batas-batas kepantasan, tabu, dan hal yang tidak sopan masih diperhatikan. Realitas kehidupan yang tidak pantas digambarkan, yang melanggar tabu, dan yang tidak sopan, tidak ikut digambarkan oleh pengarang.

Sutan Takdir Alisyahbana merupakan tokoh pemula aliran realisme. “Menuju Laut” karya STA, mengajak kita berorientasi lain tentang laut. Kita menghadapi laut yang penuh dinamika. Laut dengan gelombang menderai tidak bias dikatakan sebagai laut yang tenang tiada berombak.

Penyair Angkatan 45 yang beraliran Realisme : Asrul Sani, Rivai Apin, Sitor Situmorang, Subagio Sastrowardojo, Chairil Anwar.

DOA
(Kepada Pemeluk Teguh)

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMU

Biar susah sungguh
Mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelas sunyi

Tuhanku
Aku hilang bentuk
Remuk

Tuhanku
Aku menggembara di negeri asing

Tuhanku
Di pintuMu aku mengetuk
Aku tidak bias berpaling

/kerdip lilin di kelam sunyi/ sesuatu yang sangat berarti
/aku mengembara di negeri asing/ pengakuan sang penyair akan dosa-dosanya, sehingga ia menjadi orang asing bagi dirinya sendiri.
/dipintuMu aku mengetuk, aku tidak bias berpaling/ tekad penyair yang menyadari bahwa jalan Tuhanlah yang menjadi pilihannya, ia tidak akan berpaling lagi, apa pun yang terjadi

I S A
(Kepada Nasrani Sejati)

Itu tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah

Rubuh
Patah
Mendampat Tanya : aku salah?

Kulihat Tubuh mengucur darah
Aku berkaca dalam darah

Terbayang terang di mata masa
Bertukar rupa ini segera

Mengatup luka

Itu tubuh
Mengucur darah
Mengucur darah

(12 November 1943, Chairil Anwar)


3. ALIRAN REALISME SOSIAL
Kenyataan yang digambarkan aliran realisme social adalah kenyataan yang dialami oleh golongan masyarakat yang menderita, yakni buruh dan tani. Penggambaran kenyataan itu dimaksudkan untuk membangkitkan pertentangan kelas, yakni bangkitnya kaum buruh dan tani untuk melawan apa yang oleh golongan komunis sebagai kaum borjuis atau kapitalis. Yang dipentingkan dalam realisme social ialah kenyataan hidup masyarakat golongan revolusioner, suatu golongan yang berpihak pada buruh dan tani.
Aliran realisme social mengalami perkembangan pesat antara tahun 1962 sampai tahun 1965, yakni di saat LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sangat berkuasa dalam bidang kebudayaan dan kesenian di Indonesia.

Kawan Separtai Bekerja

Kau massa pekerja Indonesia
Kau mati di laut menangkap ikan
Kau mati menebang kayu di tengah hutan
Kau mati di tambang-tambang
Kau mati di pabrik digilas mesin
Kau mati menyadap karet
Kau mati mengangkut beban
Kau mati di lading-ladang
Kau mati di kolong jembatan
Kau mati lapar di tepi pasir
Di mana saja kau mati sebagai kuli
Di mana saja kau mati terkapar menambah lapar
Di setiap tapak tanah peluh dan darah
Kau curahkan sebagai pahlawan.

Hr.Bandaharo, 1964.


Kemis Pagi

Hari ini kita tangkap tangan-tangan Kebatilan
Yang selama ini mengenakan seragam kebesaran
Dan menaiki kereta-kereta kencana
Dan menggunakan meterai kerajaan
Dengan suara lantang memperatasnamakan
Kawula dukana yang berpuluh juta

Hari ini kita serahkan mereka
Untuk digantung di tiang Keadilan
Penyebar bias fitnah dan dusta durjana
Bertahun-tahun lamanya

Mereka yang merencanakan seratus mahligai raksasa
Membeli benda-benda tanpa harga di manca Negara
Dan memperoleh uang emas beratus juta
Bagi diri sendiri, di bank-bank luar negeri
Merekalah pengatur jina secara terbuka
Dan menistakan kehormatan wanita, kaum dari ibu kita;

Hari ini kita tangkap tangan-tangan kebatilan
Kebanyakan anak-anak muda berumur belasan
Telah kita naiki gedung-gedung itu
Mereka semua pucat, tiada lagi berdaya
Seorang ketika digiring, tersedu
Membuka sendiri tanda kebesaran di pundaknya
Dan berjalan perlahan dengan lemahnya

Taufik Ismail. 1966


4. ALIRAN EKSPRESIONISME
Penyair ekspresionisme tidak mengungkapkan kenyataan secara objektif, namun secara subjektif. Yang diekspresikan adalah gelora kalbunya, kehendak batinnya. Puisinya benar-benar ekspresi jiwa, creation, bukan mimesis.
Sajak ekspresionistis tidak menggambarkan alam atau kenyataan, juga bukan penggambaran kesan terhadap alam atau kenyataan, tetapi cetusan langsung dari jiwa. Cetusan itu dapat bersifat mendarah daging, seperti sajak “Aku” karya Chairil Anwar.

Aku

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bias kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Chairil Anwar. 1946.


Surat dari Ibu

Pergi ke dunia luas, anakku saying
Pergi ke hidup bebas!
Selama angina masih angina buritan
Dan matahari pagi menyinar daun-daun
Dalam rimba dan padang hijau

Pergi ke laut lepas, anakku saying
Pergi kea lam bebas!
Selama hari belum petang
Dan warna senja belum kemerah-merahan
Menutup pintu waktu lampau

Jika baying telah pudar
Dan elang laut pulang ke sarang
Angina bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
Dan nahkoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padaku!

Kembali pulang, anakku saying
Kembali ke balik malam!
Jika kapalmu telah merapat ke tepi
Kita akan bercerita
“Tentang cinta dan hidupmu pagi hari”

Asrul Sani. 1951

Dengan sangat bijaksana, Asrul Sani memberikan teladan bagi ibu-ibu agar memberikan kebebasan kepada putra-putrinya untuk mencari pengalaman seluas-luasnya, pergi ke dunia luas, ke laut lepas, kea lam bebas, selagi mereka masih muda. Dan membiarkan anak mereka tidak pulang sebelum mereka sukses dalam pengembaraannya.

5. ALIRAN IMPRESIONISME
Impresionisme merupakan perkembangan dari realisme. Kenyataan dalam impresionisme menimbulkan kesa-kesan dalam diri penyair. Apa yang dikemukakan dalam sajak adalah kesan-kesan dalam diri penyair setelah menghayati kenyataan hidup itu. Adapun objek kenyataan itu dapat berupa manusia, peristiwa, benda dan sebagainya.

Contoh sajak yang bersifat impresionisme : “CANDI MENDUT” SYIWA NATARAJA”, “TERATAI” (Sanusi Pane. “CILIWUNG YANG MANIS”, “RUMAH DI BELAKANG RUMAH TUAN SURYO”, (Rendra). “SARANGAN”, “TAWANGMANGU”, “MADURA’ (Abdul Hadi W.M.). “BUNGLON”, “MADRASAH MUHAMMADIYAH” (Mahatmanto)

Perempuan-perempuan Perkasa

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta
Dari manakah mereka

Ke stasiun kereta mereka dating dari bukit-bukit desa
Sebelum peluit kereta pagi terjaga
Sebelum hari bermula dalam pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta
Ke manakah mereka
Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota
Mereka hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta
Siapakah mereka
Akar-akar melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka : cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa

Hartoyo Andangjaya. 1963.

Puisi tersebut menceritakan tentang perempuan-perempuan yang berjuang keras untuk menyambung hidup dengan jalan berdagang hasil bumi dari Walikukun ke Solo menjelang pukul 4 pagi mereka sudah menunggu kereta pagi Madiun-Solo untuk menjual hasil dagangannya, dan mereka baru pulang di sore hari.

Teratai
Kepada Ki Hajar Dewantara

Dalam kebun di tanah airku
Tumbuh sekuntum bunga teratai
Tersembunyi kembang indah permai

Tiada terlihat orang yang lalu

Akarnya tumbuh di hati dunia
Daun berseri, Laksmi mengarang
Biarpun dia diabaikan orang
Seroja kembang gemilang mulia

Teruslah, o, Teratai bahagia
Berseri di kebun Indonesia
Biarkan sedikit penjaga taman

Biarpun engkau tidak dilihat
Biarpun engkau tidak diminat
Engkau turut menjaga jaman

Sanusi Pane. 1957.


6. ALIRAN IMAJIS
Menurut kaum imajis, kenyataan harus dilukiskan dalam imaji visual yang jernih dan jelas. Kata-kata dipilih secara cermat dan efisien. . Bahasa yang dipilih adalah bahasa sehari-hari dengan ritme yang tidak mengikat. Di samping mengungkapkan gagasan penyair, kata-kata itu mendukung imaji penyair yang hendak diungkapkan. Puisi kaum i8majis sering mirip prosa.
Tokoh Imaji : Sapardi Djoko Damono (Kumpulan puisi DUKAMU ABADI, MATA PISAU, PERAHU KERTAS. Tokoh muda yang lain : Adri Darmadji, BY. Tand, Beni Setia, Hetu Emka.

Peristiwa Pagi Tadi

Pagi tadi seorang sopir oplet becerita kepada tukang warung
Tentang lelaki yang terlanggar motor waktu menyeberang

Siang tadi pesuruh kantor bercerita kepada tukang warung tentang
Sahabutmu yang terlanggar motor waktu menyeberang, membentur
Aspal, lalu beramai-ramai diangkat ke tepi jalan

Sore tadi tukang warung bercerita kepadamu tentang aku yang
Terlanggar motor waktu menyeberang, membentur aspal, lalu
Diangkat beramai-ramai ke tepi jalan dan menunggu setengah jam
Sebelum dijemput ambulans dan meninggal sesampai di rumah sakit.

Malam ini kau ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu.

Sapardi Djoko Damono. 1983

Dalam beberapa karyanya, Rendra juga mampu menjadi imaji : “BALADA TERBUNUHNYA ATMO KARPO”, “BALADA SUMILAH”, “BALADA ANITA”, “ADA TILGRAM TIBA SENJA”, “KAKAWIN KAWIN”

Apa Hendak Kalian Kata

Apa Hendak Kalian Kata Tentang Bangsaku, Heih?
(Neno Warisman)
Apa hendak kalian kata tentang bangsaku, Heih?
Para pemimpinnya ..., pandai berutang. Dulu, masih tukar beras dengan pesawat terbang. Hari ini aset-aset negara dijual serampangan pada orang-orang negeri seberang. Dan, yang menyakitkan, leher rakyat sendiri jadi sasaran, sekarang semua harga dinaikkan! Alangkah kejamnya.
Apa hendak kalian kata tentang bangsaku, heih?
Para eksekutifnya ..., ya eksekutifnya suka bersenang-senang, piawai menyogok kiri dan kanan. Pandai bikin kuitansi yang gelap jadi terang benderang lantaran hukum sulit ditegakkan. Di zaman makin susah begini, Jaguar, Lamborghini dan mobil-mobil mewah malah seliweran banyak sekali ... dan kafe-kafe tak pernah sepi ...
Apa hendak kalian kata tentang bangsaku, heih?
Kaum mudanya ... gampang direkayasa, dijajah oleh para bandar narkotika, tak mampu kita orang tua, ulama, aparat dan sebut pihak lainnya untuk mengatasi dampak akibatnya. Belum lagi jika menyangkut perihal nasib anak-anak putri kita yang seharusnya terpelihara suci.
Heran, tak ada siapa pun di sini yang dapat menghalangi mereka berbondong-bondong membuka pusar dan aurat lainnya. Di televisi, di mal-mal terbuka bahkan di rumah-rumah mereka sendiri di depan para orang tuanya, sampai ke pelosok desa yang tak ada namanya di peta, mereka jajakan kesucian badan dengan bangga dan tak merasa kehilangan apa-apa.
Cukup! cukup!
Tidak, belum cukup! Ada ribuan fakta lainnya yang bisa aku baca. Enam juta anak putus sekolah ... (Cukup!) 50 juta penduduk di bawah garis kemiskinan selain para pengungsi tenaga kerja wanita, (Cukup! Cukup! Kataku!)
Begitulah caramu hendak mengetuk pintu kesadaran orang?
Kau salah! Kau ingin semakin menjerusmuskan diri ke dalam perasaan tidak berharga. Cukup kataku cukup! Berjuta fakta lagi yang lebih buruk dari yang kau gelarkan di sini telah kita sama jalani. Tapi apakah kita mau tenggelam pada kemarahan ini?
Indonesia ... tanah airku ...!
Indonesia bukan milik kita lagi. Negeri ini adalah warisan kita pada mereka. Kalaulah aku tak melihat mata-mata berbinar bak cahaya bintang di angkasa, dan wajah-wajah polos milik anak-anak masa depan, satu-satunya anggota keluarga kita yang dapat kita harapkan ... aku barangkali akan berteriak lebih keras darimu biar luka ini semakin jadi
Kalaulah tak ada pemuda-pemuda yang memimpin zikir qahri wa qolbi, di majelis-majelis dan mushala serta tempat-tempat ibadah lainnya, niscaya aku akan menyeru langit untuk lebih baik runtuh saja. Tapi pemuda-pemuda yang bersih hatinya terus lahir menyeruak berdakwah diantara sebaya mereka yang terlanjur jadi sampah ... Mereka adalah kunang-kunang di gelap malam ... Ada jutaan kunang-kunang yang bila berkumpul, mereka menjadi obor cahaya!
kalaulah tak ada para ulama yang bersih yang terus menangis, gemetar tangan, dan badan mereka menguak malam, berdiri tegak, dan rukuk tak terhitung jam, memohon kehadirat Penguasa Alam agar diturunkan kembali ampunan bagi kita yang terus saja asyik bermaksiat dengan wah ....
O, andaikan tak lahir orang-orang yang bertobat dan memperbaiki diri ... Pastilah sudah rata diazab tanah ini ...
Apa hendak kalian kata tentang bangsaku? Wahai para teroris yang sebenarnya? Wahai para penjajah yang berlindung di balik topeng kemajuannya! Wahai para serigala rentenir dunia yang memakai bulu domba di balik kata bantuan! Bantuan apa? Ini semua bukan bantuan, melainkan utang! Utang negeri ini melampaui kesanggupan anak-anak kami membayarnya nanti!
Jadi apa hendak kalian kata tentang bangsaku, heih?

Di Hari Penuh Bendera

Di hari penuh bendera. Siapa berfikir tentang anak-anak kita?
(Neno Warisman)

Ini hari penuh bendera
Di mana-mana di rumah besar kita ini, kalau bisa setiap jengkal tanah dicagaki bendera-bendera.
Bendera-bendera yang saling berkata satu sama lainnya, "Hai mari kita lihat, siapa yang bakal jadi pemenang!"

Hai kau siapa? Pengikutmu tidak jelas. Ah, kau ini masa lalu dan sudah ketahuan banyak koreng di jahitanmu, tau!
Kau ini masih bau kencur kok, sudah sok tau sih? Apalagi kau! Apa andalanmu, hah? Cuma segelintir orang yang merasa pintar dan bisa mengubah keadaan dengan kepintaran!
ngomong deh, kucing belang, dan seterusnya ..."

Para bendera bergerai-gerai kainnya disapu angin dan ditingkahi suara bising motor para pengendara di jalan raya, tetapi mereka terus saja berselisih paham tentang siapa yang bakal jadi pemenang.

Para bendera kebanyakan menjadi amat arogan dengan bentuk logo dan warna yang ditorehkan oleh para pengikutnya dan yang sering kali juga untuk sang bendera terciprat amuk dan darah para pendukungnya yang marah. Pernah begitu terjadi, dan entah akan terjadi lagi atau tidak.

Semoga saja ...
Semoga yang kelak jadi pemimpin rakyat atau negeri, tidak menjadi sewenang-wenang, tidak suka memakan saudara sendiri, peduli pada saudarnya, sebagain besar tindakannya tidak merusak dan merugikan alam dan bumi, akabbira mujrimiin ...

Semoga kelak para pemimpin negeri, mereka menjadi pemimpin yang suka melindungi dan mengedepankan kepentingan rakyat dari kepentingan sendiri ... karena mereka bahagia. Mereka suka melihat orang lain bahagia, mereka tidak suka orang lain celaka. Mereka akan bagi kekayaan negeri dengan adil merata, hingga tanah, laut dan udara dikelola dengan jujur dan amanah menjadi masyarakat yang bahagia.

Takut terlambat, takut dicela
Takut tak berseragam dan takut banyak lagi takut dan ancaman yang dirasa ...
Di hari penuh bendera ... .

Banyak yang ingin menang mengatasnamakan apa saja, juga pendidikan untuk mencapai sejahtera
Di hari penuh bendera, siapa yang benar-benar memikirkan mereka ... anak-anak kita?

Tentang Taufik Ismail-4

Yang Kami Minta Hanyalah

Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
Penawar musim kemarau dan tangkal bahaya banjir
Tentu bapa sudah melihat gambarnya di koran kota
Tatkala semua orang bersedih sekadarnya

Dari kakilangit ke kakilangit air membusa
Dari tahun ke tahun ia datang melanda
Sejak dari tumit, ke paha lalu lewat kepala
Menyeret semua

Bila air surut tinggalah angin menudungi kami
Di atas langit dan di bawah lumpur di kaki
Kelepak podang di pohon randu

Bila tanggul pecah tinggalah runtuhan lagi
Sawah retak-retak berebahan tangkai padi
Nyanyi katak bertalu-talu

Yang kami minta hanyalah sebuah bendungan saja
Tidak tugu atau tempat main bola
Air mancur warna-warni

Kirimlah kapur dan semen. Insinyur ahli
Lupakan tersianya sedekah berjuta-juta
Yang tak sampai kepada kami

Bertahun-tahun kita merdeka, bapa
Yang kami minta hanyalah
sebuah bendungan saja
Kabulkanlah kiranya

(Benteng, Taufik Ismail)



Kita Adalah Pemilik Syah Republik Ini

Tidak ada lagi pilihan, Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran :
"Duli Tuanku?"

Tidak ada lagi pilihan. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahan hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya diam inikah yang namanya merdeka
Kita yang tak punya dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan. Kita harus
Berjalan terus

Tirani, Taufik Ismail)