24 April 2009

Tentang Taufik Ismail-5

Betapa pun Sukar dan Seperti Mustahilnya, Tetap Kita Menyeru Kebaikan dan Melawan Kemunkaran
(Taufik Ismail)


Berdiri di atas ketinggian tebing memandang panorama Indonesia hari ini, maka kita akan saksikan pemandangan menyedihkan ini :

Kita hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda
terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara di dunia
Penganggur 40 juta orang, anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid
pecandu narkoba 6 juta anak muda,
pengungsi perang saudara 1 juta orang,
VCD biru beredar 20 juta keping,
kriminalitas merebak di setiap tikungan jalan,
dan beban hutang di bahu 1600 trilyun rupiahnya.

Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol
di ruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya,
dan di punggung kita dicap sablon besar-besar
"Tahanan IMF dan Penunggak Hutang Bank Dunia"
Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu
menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.

Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali
Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku.
Dulu penjajah kita satu negara,
kini penjajah multi-kolonialis banyak bangsa.
Mereka berdasi sutra, ramah tamah luarbiasa dan berlebihan senyumnya
Makin banyak kita meminjam uang meeka makin gembira
karena leher kita makin mudah dipatahkannya.

Di atas adegan fisikal hancur-hancuran ini, belum lagi termasuk gempa bumi dan gelombang tsunami lalu bencana alam serta penyakit menular dan tidak menular yang menimpa masyarakat luas, dengan pedih kita rasakan nilai-nilai luhur yang berkeping-berantakan di sekitar kita :

Keimanan
Kejujuran
Ketertiban
Kesopanan
Pengendalian diri
Pengorbanan
Tanggung jawab
Kebersamaan
Keikhlasan
Optimisme
Kerja keras
Menghargai pendapat orang lain

Untuk menyebut 12 nilai luhur (yang bila diperlukan, masih dapat diperpanjang sampai 50 butir lagi), yang sudah cukup menyesakkan nafas kita. Orang biasa memadatkannya menjadi dua kata, yaitu keruntuhan akhlak :

Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak
Berjalan aku di Sixth Avenue, Meydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret di kepala

Sebuah keruntuhan yang merupakan bencana luar biasa, pada saat orang tidak lagi mampu membedakan antara mana yang boleh, mana yang tidak boleh, atau mungkin masih tahu tetapi bila sampai pada pilihan gawat masuk-tidak-masuknya rezeki, maka kemampuan itu buyar :

Apalagi di negeri kita lama sudah
tidak jelas batas halal dan haram,
ibarat membentang benang hitam
di hutan kelam jam satu malam

Bergerak ke kiri ketabrak copet
bergerak ke kanan kesenggol jambret,
jalan di depan dikuasai maling,
jalan di belakang penuh tukang peras,
yang di atas tukang tindas

Untuk hari ini
bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia
sudah untung

Cita-cita menjadikan Indonesia negara industri secara ironi saya tuliskan sebagai berikut ini :

Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali.
Berbagai format perindustrian,
sangat menjanjikan,
begitu laporan penelitian.
Nomor satu paling wahid,
sangat tinggi dalam evaluasi,
hari depannya penuh janji,
adalah industri korupsi.

Prosedur investasi industri korupsi
tidak dipersulit birokrasi sama sekali
karena iklim kondusif, banyak fihak partisipatif,
cerah secara prospektif, sehingga sangat atraktif,
pasti produktif, semangatnya kreatif,
dan terhadap mereka yang reaktif dan negatif,
akan dipasang penangkis kuda-kuda antisipatif.

Sharebolder, stakebolder, dan key bolder
industri korupsi ini lebar sekali,
meliputi semua potongan hidung, pesek dan mancung
lalu bentuk mata, sipit dan membuka,
seluruh visi dan misi,
kelompok politisi,
praktisi ekonomi seluas-luas profesi
dipayungi oleh kroni,
hubungan famili,
ikatan ideologi,
suku itu dan ini
dari mana saja provinsi

Penamaan koruptor sudah tidak menggigit lagi kini,
istilah korupsi sudah pudar dalam arti,
lebih baik kita memakai istilah maling,
Malling dengan dua el, membedakannya dari maling dengan satu el.

Dinamika pengambilan benda yang bukan hak si pengambil, berkembang secara sangat terbuka, blak-blakan dan bersemangat justru dalam masa reformasi, setelah 1998, hingga hari ini :

Lihatlah para malling itu kini berfungsi dalam semangat gotong-royong
Mereka bersaf-saf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu’
Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya.
Begitu sistematik prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya.
Begitu khusyu’nya, engkau kira mereka beribadah.
Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada malling yang istiqomah?

Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya,
Membentang dari depan sampai ke belakang,
Melimpah dari atas sampai ke bawah,
Tambah merambah panjang deretan saf jamaah.
Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin.

Bagaimana melawan malling yang kerja gotong-royongnya berjamaah?
Bagaimana menangkap malling yang prosedur pencuriannya
Malah dilindungi dari atas sampai ke bawah?
Dan yang melindungi mereka, ternyata,
Bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah.
Bagaimana ini?

Situasi ini telah membuat sebagian kecil manusia Indonesia yang kepribadiannya jadi berbelah-bagi, tak sekata tak serasi antara bagian badan kanan dan kiri, berbeda pula fungsi antara tubuh yang kanan dengan yang kiri, sebuah konstatasi proses genetika yang layak diamati :

Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi
MOU (Memorandum of Understanding)
Dan MUO (Mark Up Operation)
Tangan kanannya membuat yayasan beasiswa,
Asrama yatim piatu dan sekolahan.

Kaki kiri jamaah ini melakukan studi banding pemerasan
Dan mengais-ngais upeti ke sana ke mari
Kaki kanannya bersedekah, pergi umrah, dan naik haji.

Otak kirinya merancang prosentase komisi pembelian,
Pembobolan bank dan pemotongan anggaran,
Otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha,
Dan memohon ampunan Tuhan

Betapa bingungnya kita menghadapi keadaan edan-edanan, amburadul, bergelemakpeak, kusut, carut marut, chaotic, sesak nafas, in fausta, dihadapkan pada posisi akut al-manzilab baik al-manzilatain, menentukan posisi di antara dua posisi ini, menghindari kefasikan. Betapa berat, alangkah musyakkat. Apa yang mesti dibuat?

Bagaimana caranya melawan malling begini
Yang bergotong royong bersama-sama mencuri
Dengan lirik holopis kuntul baris bersemangat bernyanyi
Barisannya kukuh seperti benteng kraton,
Tak mempan dihantam gempa dan tsunami bandang,
Malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang undang-undang,
Penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi bergantian.

Bagaimana caranya memroses hukum
Malling yang jumlahnya ratusan ribu, bahkan mungkin sejuta
Cukup membentuk sebuah negara mini,
Meliputi mereka yang pegang kendali perintah,
Eksekutif, legislatif, yudikatif dan dunia bisnis
Yang pegang pestol dan mengendalikan meriam,
Yang berjas dan berdasi,
Bagaimana caranya?

Mau diperiksa dan diusut secara hukum?
Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan?
Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman?
Hakim dan jaksa yang steril bersih dari penyuapan?
Percuma? Buang tenaga?
Tetapi harus tetap dijalankan
Seratus tahun pengadilan, setiap hari 12 jam dijadwalkan
Insya Allah akan lumayan, walau tak tuntas terselesaikan
Dua puluh presiden kita turun dan kita naikkan
Masalah ruwet kusut ini mungkin tak habis teruraikan
Tetapi harus tetap dijalankan.

Menoleh balik ke beberapa dasawarsa ke belakang, maka akan tampak bahwa betapa berjalin-berkelindannya jaringan kekacauan yang membelit tubuh bangsa, mencekik leher kita, menindas nafas semua :

Kita selama ini sudah terperangkap, terjerebab, terikat, terjerat,
Dalam sistem yang kita sendiri buat,
Sistem yang ruwet, kusut, keriting, dan berbelit sangat,
Yang dari padanya, rakyat tidak dapat manfaat.
Dan karena kita semua terlibat,
Merubahnya seperti kita tak lagi dapat.

Kita saksikan betapa sukarnya kerja yang jadi beban Komite Pemberantasan Korupsi. Bagi kita sebagai bangsa telah sangat hayati beratnya cobaan ini. Dan kita meratap : ”Maadza arada Llaahu bi badza matsala?” Apakah gerangan yang sebenarnya Dikau kehendaki dari ini umpama :

Jadi, saudaraku, bagaimana caranya? Kita harus membujuk mereka.
Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk.
Agar bersedia mengembalikan jarahan yang bertahun-tahun
Dan turun temurun sudah mereka kumpulkan

Kita doakan Allah membuka hati mereka
Terutama karena terbanyak dari mereka orang yang shalat juga,
Orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga,
Orang yang melakukan kebaktian di gereja, pergi ke pura dan vihara juga,
Kita bujuk baik-baik, dan kita doakan mereka,
Agar bersedia kepada rakyat mengembalikan jarahan mereka.

Kerjasama PP Muhammadiyah dan PB Nahdhatul Ulama dalam memberantas penyakit masyarakat ini, bersama dengan LSM-LSM lain dan seluruh kelompok bangsa yang masih bersemangat, harus kita dukung sepenuh tenaga, walau bagaimana pun mendung dan pesimisnya cuaca hari ini. Janganlah sampai terjadi hal berikut ini :

Celakanya, jika di antara jamaah malling itu ada keluarga kita
Ada hubungan darah atau teman sekolah,
Maka kita cenderung tutup mata
Tak sampai hati menegurnya

Celakanya, bila di antara jamaah malling itu
Ada orang partai kita, orang seagama atau sedaerah,
Kita cenderung menutup-nutupi fakta,
Hukumnya lalu dimakruh-makruhkan,
Dan diam-diam berharap semoga kita
Mendapatkan cipratan harta
Tanpa ketahuan siapa-siapa

Menghadapi masalah ringannya banyak orang mengambil benda yang bukan haknya ini, yang mengubur etika dan makin membudaya, saya ingin mengutip gagasan almarhum Kuntowijoyo tentang etika profetik yang bersumber dari Al Quran, 3:110, Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemunkaran, dan beriman kepada Allah

Setelah menyatakan keterlibatan manusia dalam sejarah (ukhrijat linnaas) selanjutnya ayat itu berisi tiga hal, yaitu :
’amar ma’ruf (menyuruh kebaikan, humanisasi)
Nahi munkar (melawan kemunkaran, liberasi)
Tu’minu billaah (beriman pada Tuhan, transedensi)

Etika profetik yang berisi tiga hal, yaitu humanisasi, liberasi, dan transendensi itu, menjadi pelayan bagi seluruh umat manusia, rahmatan lil ’aalamiin. Liberalisme akan memilih humanisasi, Marxisme liberasi, dan kebanyakan agama transendensi. Etika Profetik menginginkan ketiga-tiganya. Masalah-masalah kemasyarakatan kebudayaan kita hadapi dengan Etika Profetik ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar