Apa Hendak Kalian Kata Tentang Bangsaku, Heih?
(Neno Warisman)
Apa hendak kalian kata tentang bangsaku, Heih?
Para pemimpinnya ..., pandai berutang. Dulu, masih tukar beras dengan pesawat terbang. Hari ini aset-aset negara dijual serampangan pada orang-orang negeri seberang. Dan, yang menyakitkan, leher rakyat sendiri jadi sasaran, sekarang semua harga dinaikkan! Alangkah kejamnya.
Apa hendak kalian kata tentang bangsaku, heih?
Para eksekutifnya ..., ya eksekutifnya suka bersenang-senang, piawai menyogok kiri dan kanan. Pandai bikin kuitansi yang gelap jadi terang benderang lantaran hukum sulit ditegakkan. Di zaman makin susah begini, Jaguar, Lamborghini dan mobil-mobil mewah malah seliweran banyak sekali ... dan kafe-kafe tak pernah sepi ...
Apa hendak kalian kata tentang bangsaku, heih?
Kaum mudanya ... gampang direkayasa, dijajah oleh para bandar narkotika, tak mampu kita orang tua, ulama, aparat dan sebut pihak lainnya untuk mengatasi dampak akibatnya. Belum lagi jika menyangkut perihal nasib anak-anak putri kita yang seharusnya terpelihara suci.
Heran, tak ada siapa pun di sini yang dapat menghalangi mereka berbondong-bondong membuka pusar dan aurat lainnya. Di televisi, di mal-mal terbuka bahkan di rumah-rumah mereka sendiri di depan para orang tuanya, sampai ke pelosok desa yang tak ada namanya di peta, mereka jajakan kesucian badan dengan bangga dan tak merasa kehilangan apa-apa.
Cukup! cukup!
Tidak, belum cukup! Ada ribuan fakta lainnya yang bisa aku baca. Enam juta anak putus sekolah ... (Cukup!) 50 juta penduduk di bawah garis kemiskinan selain para pengungsi tenaga kerja wanita, (Cukup! Cukup! Kataku!)
Begitulah caramu hendak mengetuk pintu kesadaran orang?
Kau salah! Kau ingin semakin menjerusmuskan diri ke dalam perasaan tidak berharga. Cukup kataku cukup! Berjuta fakta lagi yang lebih buruk dari yang kau gelarkan di sini telah kita sama jalani. Tapi apakah kita mau tenggelam pada kemarahan ini?
Indonesia ... tanah airku ...!
Indonesia bukan milik kita lagi. Negeri ini adalah warisan kita pada mereka. Kalaulah aku tak melihat mata-mata berbinar bak cahaya bintang di angkasa, dan wajah-wajah polos milik anak-anak masa depan, satu-satunya anggota keluarga kita yang dapat kita harapkan ... aku barangkali akan berteriak lebih keras darimu biar luka ini semakin jadi
Kalaulah tak ada pemuda-pemuda yang memimpin zikir qahri wa qolbi, di majelis-majelis dan mushala serta tempat-tempat ibadah lainnya, niscaya aku akan menyeru langit untuk lebih baik runtuh saja. Tapi pemuda-pemuda yang bersih hatinya terus lahir menyeruak berdakwah diantara sebaya mereka yang terlanjur jadi sampah ... Mereka adalah kunang-kunang di gelap malam ... Ada jutaan kunang-kunang yang bila berkumpul, mereka menjadi obor cahaya!
kalaulah tak ada para ulama yang bersih yang terus menangis, gemetar tangan, dan badan mereka menguak malam, berdiri tegak, dan rukuk tak terhitung jam, memohon kehadirat Penguasa Alam agar diturunkan kembali ampunan bagi kita yang terus saja asyik bermaksiat dengan wah ....
O, andaikan tak lahir orang-orang yang bertobat dan memperbaiki diri ... Pastilah sudah rata diazab tanah ini ...
Apa hendak kalian kata tentang bangsaku? Wahai para teroris yang sebenarnya? Wahai para penjajah yang berlindung di balik topeng kemajuannya! Wahai para serigala rentenir dunia yang memakai bulu domba di balik kata bantuan! Bantuan apa? Ini semua bukan bantuan, melainkan utang! Utang negeri ini melampaui kesanggupan anak-anak kami membayarnya nanti!
Jadi apa hendak kalian kata tentang bangsaku, heih?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar