Jika Anda membaca sebuah karangan ilmiah, kemudian Anda membaca pula sebuah cerpen atau sajak. Anda tentu akan mendapat kesan bahwa kedua bahasa yang dipakai berbeda ujudnya. Atau dengan lebih jelas dikatakan, yang pertama disebut ragam bahasa ilmiah dan yang kedua disebut ragam bahasa sastra.
Ragam bahasa ilmiah lebih banyak memperlihatkan unsur denotasi-nya. Maksud denotasi ialah unsur ragam bahasa yang memperlihatkan makna lugas dan objektif. Setiap kata langsung menyatakan hal, benda, atau situasi yang mengacu kepada makna harfiah dan terbatas. Contohnya kata kursi yang maknanya tempat duduk berkaki dan bersandaran, ini disebut makna denotatif. Tetapi kalau kata kursi itu dikaitkan dengan kedudukan atau kekuasaan, kita memperoleh makan konotatif. Di situ makna itu timbul berupa gagasan.
Contoh lain ialah kata putih yang berarti jernih dan benar, kelabu yang berarti menyedihkan atau mengecewakan (tragedi), hitam yang berarti kemelut atau kacau, dan merah yang berarti keberanian. Ungkapan ‘merah darahku, putih tulangku’ menunjukkan keberanian berdasarkan kebenaran.
Ragam bahasa ilmiah meniadakan sedapat mungkin pemakaian kata atau kalimat yang bernilai konotatif. Tidak boleh diartikan kata gelombang dengan makna perjuangan seperti dalam ungkapan gelombang penghidupan. Itu makna konotatif. Makna denotatifnya ialah ombak panjang yang bergulung-gulung di laut atau juga aliran getaran suara yang bergerak dalam radio. Contoh, “Radio amatir itu menyiarkan berita melalui gelombang 58”. Kalimat itu mempunyai makna denotatif.
Penggunaan unsur denotasi dan konotasi hendaklah tepat sesuai dengan tuntutan ragam bahasa. Jangan sampai dipakai berbalik.
Perhatikanlah kalimat di bawah ini: “Di bawah kelabu langit Desember kendaraan beringsut ke depan penuh keletihan setelah sekian lama layu dalam penantian terbukanya kemacetan”.
Kalimat di atas menunjukkan kendaraan bergerak ke depan dengan berangsur-angsur setelah tertahan menunggu kemacetan beberapa lama.
Di sini kata yang seharusnya mempunyai nilai denotatif diganti dengan kata yang bernilai konotatif. Kata beringsut seharusnya berangsur-angsur, kata layu dalam penantian seharusnya tertahan dalam menunggu kemacetan selesai.
Pilihan kata beringsut, keletihan, dan layu adalah pilihan kata dalam sastra yang maksudnya untuk lebih memberikan kesan yang mendalam.
Jadi di samping unsur konotasi, unsur diksi pun amat diperlukan bila kita menciptakan sebuah karya sastra dengan selalu memakai kata-kata secara tepat.
Dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud diksi atau pilihan kata ialah usaha kita untuk mengungkapkan gagasan, baik dalam tuturan atau tulisan yang dapat membantu menciptakan gaya dan nada sebagai karya sastra yang baik.
(Lukman Ali, dosen Fakultas Sastra UI, mantan kepala Pusat Bahasa)
Intisari, Agustus 2000, No.445, Th.XXXVII, Hal.158-159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar