KETIKA INDONESIA DIHORMATI DUNIA
Taufiq Ismail
Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lalu
Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatat
Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima puluh lima
Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdeka
Itulah pemilihan umum yang paling indah dalam sejarah bangsa
Pemilihan umum pertama, yang sangat bersih dalam sejarah kita
Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah jujur dan adil
Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma dilaksanakan
Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi
Pesta demokrasi tak diucapkan, pesta demokrasi cuma dilaksanakan
Pesta yang bermakna kegembiraan bersama
Demokrasi yang berarti menghargai pendapat yang berbeda
Pada waktu itu tidak ada satu nyawa melayang
Pada waktu itu tidak ada darah ditumpahkan
Pada waktu itu tidak terbakar sebuah pun bangunan
Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar sogok-sogokan
Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada kecurangan
Itulah masa, ketika Indonesia dihormati dunia
Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias senyuman
Sebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopan
Sebagai masa kita jauh dari keberingasan, jauh dari keganasan
Enam belas tahun kemudian, dalam tujuh pemilu berurutan
Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi dalam ukuran
Rakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai mereka dikibarkan
Rasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam dikobarkan
Kemudian diacungkan tinju, naiklah darah, lalu berkelahi dan berbunuhan
Anak bangsa tewas ratusan, mobil dan bangunan dibakar puluhan
Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan
Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakan
Malu pada diri sendiri, tak mampu mengubah perilaku bangsaku
TAKUT ’66, TAKUT ‘98
Taufiq Ismail
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
BAYI LAHIR BULAN MEI 1998
Taufiq Ismail
Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tangga
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta
Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing
Cobalah nasehati bayi ini dengan penataran juga
Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya
Taufiq Ismail
Dengan rasa rindu kukenang pemilihan umum setengah abad yang lalu
Dengan rasa kangen pemilihan umum pertama itu kucatat
Peristiwa itu berlangsung tepatnya di tahun lima puluh lima
Ketika itu sebagai bangsa kita baru sepuluh tahun merdeka
Itulah pemilihan umum yang paling indah dalam sejarah bangsa
Pemilihan umum pertama, yang sangat bersih dalam sejarah kita
Waktu itu tak dikenal singkatan jurdil, istilah jujur dan adil
Jujur dan adil tak diucapkan, jujur dan adil cuma dilaksanakan
Waktu itu tak dikenal istilah pesta demokrasi
Pesta demokrasi tak diucapkan, pesta demokrasi cuma dilaksanakan
Pesta yang bermakna kegembiraan bersama
Demokrasi yang berarti menghargai pendapat yang berbeda
Pada waktu itu tidak ada satu nyawa melayang
Pada waktu itu tidak ada darah ditumpahkan
Pada waktu itu tidak terbakar sebuah pun bangunan
Pada waktu itu tidak ada suap-menyuap, tak terdengar sogok-sogokan
Pada waktu itu dalam penghitungan suara, tak ada kecurangan
Itulah masa, ketika Indonesia dihormati dunia
Sebagai pribadi, wajah kita simpatik berhias senyuman
Sebagai bangsa, kita dikenal santun dan sopan
Sebagai masa kita jauh dari keberingasan, jauh dari keganasan
Enam belas tahun kemudian, dalam tujuh pemilu berurutan
Untuk sejumlah kursi, 50 kali 50 sentimeter persegi dalam ukuran
Rakyat dihasut untuk berteriak, bendera partai mereka dikibarkan
Rasa bersaing yang sehat berubah jadi rasa dendam dikobarkan
Kemudian diacungkan tinju, naiklah darah, lalu berkelahi dan berbunuhan
Anak bangsa tewas ratusan, mobil dan bangunan dibakar puluhan
Antara rasa rindu dan malu puisi ini kutuliskan
Rindu pada pemilu yang bersih dan indah, pernah kurasakan
Malu pada diri sendiri, tak mampu mengubah perilaku bangsaku
TAKUT ’66, TAKUT ‘98
Taufiq Ismail
Mahasiswa takut pada dosen
Dosen takut pada dekan
Dekan takut pada rektor
Rektor takut pada menteri
Menteri takut pada presiden
Presiden takut pada mahasiswa
BAYI LAHIR BULAN MEI 1998
Taufiq Ismail
Dengarkan itu ada bayi mengea di rumah tangga
Suaranya keras, menangis berhiba-hiba
Begitu lahir ditating tangan bidannya
Belum kering darah dan air ketubannya
Langsung dia memikul hutang di bahunya
Rupiah sepuluh juta
Kalau dia jadi petani di desa
Dia akan mensubsidi harga beras orang kota
Kalau dia jadi orang kota
Dia akan mensubsidi bisnis pengusaha kaya
Kalau dia bayar pajak
Pajak itu mungkin jadi peluru runcing
Ke pangkal aortanya dibidikkan mendesing
Cobalah nasehati bayi ini dengan penataran juga
Mulutmu belum selesai bicara
Kau pasti dikencinginya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar